Pro Kontra RUU Cipker, PSHTN FH UI Bersama PUSaKO Gelar Diskusi Publik

Suarakampus.com-Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas gelar diskusi publik terkait pro-kontra RUU Cipta Kerja. Diskusi tersebut dilangsungkan secara online melalui google meet, Minggu (03/04).

Diskusi publik ini dinarasumberi oleh Direktur Eksekutif PSHTN FHUI, Yunani Abiyoso, Direktur PUSaKO, Feri Amsari dan Deputi Perekonomian Sekretariat Kabinet RI, Satya Bhakti Parikesit. 

Yunani Abiyoso mengatakan bahwa dalam RUU Cipta Kerja (Cipker) banyak hal yang menjadi pertimbangan. Meskipun saat ini DPR sepakat untuk tidak membahas klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipker yang selama ini menuai polemik.

Abiyoso menekankan bahwa RUU Cipker sangat membuka peluang robohnya sistem regulasi yang beberapa pasalnya direvisi. Sebab kata dia, ada 79 UU yang akan diubah dan disatukan menunjukkan banyaknya pasal yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP).

“Yang saya khawatirkan, ini akan merusak tatanan regulasi yang telah dibangun dalam sebuah UU, karena merevisi secuil pasal demi pasal saja dari 79 UU,” sebut Abiyoso.

Selain itu, ia menyebutkan bahwa draf RUU Cipker yang terdiri dari 1.028 halaman dan naskah akadmik yang terdiri dari 1.900 halaman akan sangat memberatkan “Bayangkan, berapa rim kertas yang dihabiskan ketika DPR melakukan pembahasan, kalau bisa manfaatkanlah media digital saat membahas RUU ini,” kata dia.

Selain itu, ia menyoroti subtansi RUU Cipker yang terdiri dari ribuan ketentuan akan memberatkan dalam berbagai aspek, mulai dari pembahasan hingga penyusunan. “Dalam sejarah, mungkin kita belum penrah menemukan suatu UU yang terdiri dari 1200 ketentuan yang tebalnya ribuan halaman, ini pasti akan sangat memberatkan,” ungkapnya.

Ia melanjutkan, dalam RUU Cipker juga akan memperberat peran dan fungsi presiden, karena banyak kewenangan yang akan diambil alih oleh pusat yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah daerah. Seperti hal perizinian, hal itu terlihat dengan banyaknya ketentuan yang diatur presiden. “Bayangkan, berapa banyak presiden akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) ataupun Keputusan Presiden (Kepres),” kata Abiyoso. 

Senada denga Abiyoso, Feri Amsari mengatakan bahwa RUU Cipker tidak akan menciptakan penyederhanaan peraturan. Meskipun sebelumnya pemerintah beralasan bahwa RUU dengan metode omnibus law akan menyederhana peraturan yang sudah over regulasi. 

“Dengan adanya 400 PP, 19 Perpres dan sekian banyak Perda, itu kayaknya tidak menyederhanakan peraturan, malah menambah rumitnya peraturan, dan bahkan meletakan konsep kekuasaan sentralistik pemerintah pusat,” sebut Feri.

Sementara itu Deputi Perekonomian Sekretariat Kabinet RI, Satya Bhakti Parikesit menyayangkan penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan. Ia beralasan jika RUU Cipker cepat dirampungkan, akan memberikan dampak baik bagi perekonomian pasca Covid-19.

“Oleh panita kerja akan tetap melanjutkan pembahasan klaster lain yang resistensinya kecil,” kata Sathya.

Jika RUU ini disahkan, menurut Sathya, akan menjadi alat pemulihan ekonomi. Ia mengatakan bahwa landasan pemerintah dalam merancang RUU Cipker adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui investasi.

Sathya melanjutkan, keinginan pemerintah untuk menciptakan dua sampai tiga juta lapangan kerja setiap tahun akan tercipta jika pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan. “Itu akan terwujud jika pertumbuhan ekonomi kita mencapai 5,6 sampai 6 persen bahkan lebih,” pungkasnya. (Ndt)

Artikel ini dimuat pada suarakampus.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *