Pemilu Serentak dan Presidential Threshold

5 warna kertas suara untuk Pemilu Serentak 2019 (kaskus.co.id)

BERBEDA dengan sistem par­lementer, pemilihan umum dalam sistem pre­si­densial dilakukan dua kali (dual democratic legitimacy) se­hing­ga dimungkinkan hasil ke­dua pemilihan umum tersebut ti­d­ak kongruen. Partai yang me­me­nangi pemilihan eksekutif (pre­siden) bisa jadi tidak men­da­patkan dukungan kursi yang do­minan di parlemen. Bahkan pa­r­tai presiden merupakan mi­no­ritas di parlemen.

Negara yang mengalami si­tua­si seperti ini dapat terjebak da­lam skenario instabilitas sis­tem presidensial. Skenario ter­se­but memang dimulai dari ha­sil pemilihan umum yang in­kong­­ruen sehingga presiden men­jadi kekuatan minoritas di par­lemen (minority president). Da­lam situasi partai presiden m­e­rupakan minoritas di par­le­men, kemudian presiden juga ga­­gal membangun koalisi m­a­yo­ri­tas yang kohesif, potensi ter­ciptanya pemerintahan ter­be­lah (divided government) men­­­jadi tinggi.

Divided go­vern­ment membuat eksekutif dan le­­gislatif saling mengintai dan meng­­hindar sehingga cen­derung masing-masing bekerja tan­pa kerja sama. Presiden akan men­jalankan pemerintahan tan­pa memedulikan peng­awas­an legislatif dan jika meng­ingin­kan peraturan dilakukan de­ngan sepihak, presiden meng­hin­dari pembahasan di par­le­men. Melihat fenomena Ame­ri­ka Latin, peraturan-peraturan yang digolongkan sebagai emer­gen­cy decree (perppu di In­do­ne­sia) dalam kuantitas yang besar cen­derung lahir dalam kondisi di­v­ided government.

Presiden me­mang cenderung meng­gu­na­­kan presidentís legislative po­wer -nya dalam berhadapan de­ngan parlemen ketika kondisi di­vided government. Situasi ini relatif miskin ja­lan keluar karena dalam sistem pre­sidensial tidak ada satu lem­ba­ga yang menjadi sumber le­gi­ti­masi bagi lembaga lain. Ke­kua­saan eksekutif dan ke­kua­sa­an legislatif sama-sama lahir da­ri pilihan rakyat sehingga sulit meng­ganggu legitimasi lem­ba­g­a kekuasaan masing-masing ter­sebut. Artinya sulit untuk meng­ganti pemerintahan ke­cua­li menunggu waktu d­a­tang­nya pemilu berikutnya.

Situasi di atas yang berlangsung ber­larut-larut tentu men­g­aki­bat­kan pemerintahan tidak efektif dan pada gilirannya yang dir­u­gi­k­an­nya adalah rakyat yang m­e­ne­rima kebijakan tidak ber­ku­a­li­tas atau dengan kebijakan yang dibentuk dengan peng­awas­an minimal. Mencegah terjadinya situasi di atas, lahirlah berbagai m­o­di­fi­kasi dan inovasi terhadap sistem-sistem ketatanegaraan yang menjadi fitur sistem pre­si­den­sial. Gagasan pemilihan umum serentak merupakan sa­lah satu bentuk inovasi ter­se­but. Melalui pemilihan umum se­rentak, dua pemilihan umum yang terdapat dalam sistem pre­si­densial diharapkan meng­­ha­­sil­kan hasil yang kong­­ruen.

Pe­ne­litian yang di­­la­ku­kan Mark P Jo­nes ter­hadap negara-negara di Ame­rika La­tin me­nun­juk­kan bah­wa serentak atau ti­dak­nya wak­tu pemilihan pre­siden dan pa­r­­lemen akan ber­pengaruh pa­­­da hu­bung­an legislatif dan ek­­se­kutif (Jones: 1995). Jika pe­­­mi­lihan dilakukan s­e­ren­tak, pre­siden akan memiliki ke­­mung­kinan lebih besar untuk men­dapatkan dukungan le­gis­la­tif yang kuat. Jones menyatakan bahwa pe­­milihan serentak merupakan fak­tor menonjol yang akan meng­hasilkan ukuran ek­se­ku­tif dan legislatif yang terpadu yang pada gilirannya akan meng­hasilkan pemerintahan yang efektif.

Senada dengan Jones, Mark Payne menyatakan bah­wa jika pemilihan eksekutif dan legislatif dilaksanakan ber­sa­maan, pemilih cenderung akan konsisten dalam mem­be­ri­kan suaranya. Pemilu se­ren­tak akan menghasilkan sedikit par­tai yang akan mendapatkan sua­ra atau kursi signifikan di par­lemen karena terjadi coattail effect di mana preferensi p­e­mi­lih akan dipengaruhi oleh kan­di­dat presiden. Pemilih cen­de­rung akan memilih partai yang sa­ma dengan partai kandidat pre­siden yang mereka pilih. Payne menekankan terutama yang menjadi objek te­r­pe­nga­ruh adalah pemilihan legislatif yang akan mengikuti ke­cen­de­rung­an pemilihan eksekutif.

Namun gagasan pemilihan se­rentak tetap menyimpan po­ten­si-potensi permasalahan yang jika tidak teratasi, tujuan un­­tuk menghambat skenario ins­­tabilitas di sistem pre­si­den­sial ter­ancam gagal dilakukan. Di an­ta­ra permasalahan yang da­pat di­p­­e­rkirakan adalah jika pe­l­ak­sa­na­­an pemilu serentak di­ga­bung­kan dengan sistem pe­mi­lih­­an pre­siden dua putaran (ma­jo­rity run off). Pemilu se­ren­tak de­­ngan pil­pres dua putaran akan mem­buat partai-partai po­li­tik ma­suk ke pemilihan umum de­ngan me­mi­liki calon pre­siden masing-masing (tidak ber­koa­li­si) karena meng­anggap pe­me­nang pemi­lih­an presiden ti­dak akan didapat di putaran per­ta­ma.

Putaran pertama yang di­lak­­sa­nakan serentak di­gu­na­kan oleh partai-partai un­tuk men­­ca­lon­kan presiden agar men­­da­pat­kan coattail effect, ya­itu ter­ang­katnya suara partai di pe­­mi­lu legislatif oleh calon pre­si­­den yang diajukan di pe­mi­lih­an pre­si­den. Partai politik me­mi­­liki ca­lon presiden sendiri agar dapat men­dudukkan se­ba­nyak mung­kin wakilnya di parlemen. Jika hal itu yang terjadi, ke­mung­­kinannya adalah ter­ben­tuk par­lemen yang ter­frag­men­ta­si ting­­g­i (multipartism), ba­nyak par­tai yang mendudukkan wa­kilnya di parlemen, tidak ada ke­kuatan ma­yoritas dan mem­per­besar po­tensi terjadinya mi­no­­rity presi­dent­. Jika terjadi mi­no­­rity presi­dent, potensi terjebak ke dalam ske­nario instabilitas sis­­tem pre­si­den­sial seperti di­gam­­barkan di atas menjadi se­ma­­kin besar.

Fak­ta yang di­sam­pai­­kan Gabriel Ne­gre­t­to ber­da­sar­­kan pengalaman di Amerika La­­tin dalam rentang 1978-2002 me­nyebutkan bahwa ke­mung­kinan partai presiden me­nik­ma­ti dukungan mayoritas di par­le­men cenderung turun se­iring de­ngan meningkatnya par­tai-par­tai yang mendapat kur­si di par­­lemen. Fragmentasi ting­gi par­­lemen juga menye­bab­kan kon­­sensus dalam pro­ses peng­am­­bilan putusan di par­le­men akan menjadi lebih sulit. Para pengkaji fenomena pe­me­­rintah di Amerika Latin m­e­mang menekankan bahwa sta­bi­li­­tas sistem presidensial sa­ngat ter­kait dengan kondisi frag­men­tasi tinggi kepartaian. Bah­kan di­nyatakan bahwa ter­da­pat buk­t­i kuat kelangsungan hi­dup de­mo­krasi di sistem pre­si­densial di­tentukan tingkat frag­mentasi par­tai politik di parlemen.

Dalam perspektif koh­e­si­vi­tas koalisi, menunda koalisi hing­ga di putaran kedua pemi­lih­an presiden berdampak bu­ruk pada koalisi yang dibangun. Partai-partai politik yang me­mu­lai koalisinya di putaran k­e­dua pilpres tidak akan mem­ba­ngun koalisinya berbasiskan pre­ferensi kebijakan, apalagi ideo­logi (policy blind coalition), ka­rena tiap partai politik ketika itu sudah memiliki size masing-masing yang merupakan hasil p­e­milu putaran pertama yang di­selenggarakan serentak de­ngan pemilihan presiden. Jadi per­timbangan agenda ke­bi­jak­an bersama akan terpinggirkan ka­rena terfokus pada perolehan par­tai masing-masing di pu­tar­an pertama.

Hambatan waktu juga men­ja­di masalah untuk membentuk koa­lisi berbasis kebijakan (po­licy based coalition). Rentang an­ta­ra berakhirnya putaran pe­r­ta­ma dan dimulainya putaran ke­dua merupakan waktu yang ter­la­lu singkat untuk secara serius mem­­b­entuk agenda kebijakan ber­sama yang menjadi dasar koa­lisi. Bahkan agenda ke­bi­jak­an bersama yang mungkin su­dah dibentuk oleh beberapa par­tai yang sudah bergabung le­bih dahulu dalam putaran per­ta­ma menjadi tidak relevan de­ngan bergabungnya partai baru da­lam putaran kedua yang se­ca­ra ideologis atau posisi ke­bi­jak­an berbeda bahkan ber­ten­tang­an. Koalisi dengan basis agenda ke­bijakan bersama yang lemah di­perkirakan akan rapuh dan mu­dah pecah (fragile), te­r­uta­ma ketika nanti mengelola pe­me­­rintahan bersama-sama.

Gambaran yang di­sam­pai­kan di atas membuat suatu ke­sim­pulan bahwa pemilihan se­ren­tak akan mendapatkan tu­­j­­u­an­nya jika dilakukan de­ngan jum­lah calon presiden yang se­di­kit. Sementara pe­mi­­lih­an se­ren­­tak yang pe­me­nang pil­­pres­nya ditentukan pa­da pu­tar­an ke­dua pemilihan mem­­buat partai-par­tai politik jus­tru be­­ramai-ramai me­mi­liki calon pre­­siden sendiri ka­re­na ber­ha­rap coattail effect. Da­­lam kon­teks ini pengaturan am­­bang ba­tas partai po­li­tik/ ga­­bungan par­tai politik untuk da­­pat men­c­­a­lonkan pre­si­den (presi­den­tial thres­hold) me­ne­mu­kan relevansinya.

Presidential thres­hold me­mang memiliki per­masalahan jika me­li­hat perolehan suara yang menjadi dasar per­­hi­tung­an adalah suara pe­milu se­be­lum­nya sehingga ti­dak relevan un­tuk meng­hi­tung dukungan rak­y­at atau kur­si parlemen ke­pa­da se­orang calon presiden. Na­mun jika memandangnya da­ri ke­bu­tuhan akan pemilihan pre­si­den dengan calon terbatas, pre­sid­ential threshold me­ru­pa­kan jal­an yang efektif dan ter­ukur un­tuk mengatasi masalah ter­se­but. Melalui presidential thres­­hold dipastikan calon pre­si­­den akan terbatas jum­lah­nya.

Da­lam kondisi calon pre­si­den ter­batas, diharapkan keb­aikan-k­e­baikan dari pel­ak­sa­naan pe­mi­lu serentak dapat di­nikmati. Meng­hindar dari an­caman ter­je­baknya relasi ek­sekutif dan le­gis­latif dalam ske­nario ins­ta­bi­li­tas sistem pres­idensial mung­kin lebih pen­t­ing dipilih dan se­jauh ini fo­r­mulasi yang dapat di­te­mu­kan untuk membatasi ca­lon se­cara efektif dan terukur ada­lah presidential threshold.

Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H.

Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

Sumber : sindonews.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *