Sehat Politik

Para Capres an Cawapres melakukan tes kesehatan sebagai syarat untuk maju Pilpres 2019 (poskotanews.com)

Syarat kemampuan fisik dan jiwa dalam menduduki jabatan politik tidak di ragukan memang penting untuk dipenuhi setiap pejabatnya.

Namun dalam praktiknya syarat ini tidak lepas dari kontroversi karena sering kali digunakan sebagai alat manipulasi politik. Berdasar alasan tersebut, banyak negara berusaha mengatur secara ketat penggunaan syarat kemampuan fisik dan jiwa tersebut dalam peraturan perundang-undangannya, khususnya dalam konstitusi. Dalam konstitusi, lazimnya, syarat kesehatan bukan saja dimuat sebagai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, tetapi juga sebagai alasan pemberhentian. Dalam konstitusi negara-negara presidensial biasa ditemukan alasan kesehatan sebagai aturan pemberhentian, selain melalui mekanisme impeachment.

Aturan ini dikenal dengan sebutan declaration of incapacity. Aturan ini dalam konstitusi awalnya dirancang untuk mengatasi kondisi ketatanegaraan jika presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan mengalami masalah kesehatan. Kondisi ketika presiden masih hidup, tidak melakukan pelanggaran hukum, tetapi tidak dapat lagi melaksanakan tugas-tugas kepresidenannya. Namun dalam praktiknya keberadaan aturan seperti ini dalam konstitusi telah digunakan sebagai alat politik dalam kondisi krisis kepresidenan. Beberapa kasus di Amerika Latin menunjukkan bahwa aturan ini telah digunakan dengan berbagai rekayasa untuk menggulingkan presiden dari kekuasaannya.

Kasus tersebut antara lain terjadi pada Presiden Guetemala Manuel Estrada pada 1920, Presiden Nikaragua Leonardo Arguello pada 1947, Presiden Brasil Carloz Luz pada 1955, dan yang dianggap paling menarik adalah penggulingan Presiden Ekuador Abdala Bucaram atas tuduhan secara mental tidak sehat pada Februari 1997. Bucaram yang memenangi pemilihan presiden pada putaran kedua dengan angka tipis (54,5%) sejak awal memerintah memiliki hubungan yang antagonis dengan parlemen. Partainya hanya mengendalikan 23% kursi parlemen.

Dalam kondisi tersebut, kinerjanya juga dianggap kurang baik karena lambat dalam mengumumkan program ekonominya. Namun menjelang penggulingannya yang banyak dikritisi adalah perilakunya tidak pantas (“undignified” behavior) seperti penampilannya di media massa, gayanya yang terlalu flamboyan atau bahkan kadang cenderung kasar. Hal-hal tersebut mendorong penggulingannya ketika oposisi di parlemen melakukan pemungutan suara untuk menyatakan bahwa Bucaram secara mental tidak memiliki kemampuan (mentally incapacitated). Bucaram hanya sempat memerintah selama 6 bulan.

Ketentuan inability atau incapacity dalam konstitusi memang dapat menimbulkan kontroversi paling tidak dalam dua hal, yaitu mengenai kriteria seorang presiden dianggap mengalami ketidakmampuan dan yang kedua mengenai lembaga mana yang berwenang mengambil putusan mengenai seorang presiden mengalami ketidakmampuan. Kriteria ketidakmampuan bisa sangat bervariasi sehingga perlu didefinisikan dengan jelas jenis sakit atau cacat yang menyebabkan seorang presiden dianggap mengalami ketidakmampuan menjalankan tugasnya. Dalam sejarahnya dapat dilihat beberapa presiden atau pemimpin negara memerintah dalam kondisi cacat, tetapi tetap dapat menjalankan kekuasaannya.

Lembaga yang berwenang menjadi penambah kontroversi jika ternyata yang memutuskan presiden mengalami ketidakmampuan adalah lembaga politik, bukan lembaga profesional di bidang kesehatan. Dalam kondisi tersebut persoalan kesehatan menjadi objek negosiasi politik sehingga putusannya lebih menimbang dukungan politik daripada fakta permasalahan kesehatan yang dihadapi. Dalam Konstitusi Amerika Serikat artikel kedua seksi pertama paragraf keenam, semula inability disebutkan sebagai salah satu dari empat dasar pergantian seorang presiden, selain diberhentikan, meninggal dunia, dan mengundurkan diri. Namun pada 10 Februari 1967 Amerika Serikat mengesahkan amandemen ke-25 yang menghapus inability sebagai dasar pergantian presiden.

Amandemen ke-25 memuat pihak mana yang dapat menentukan kondisi inability setelah sebelumnya tidak ditunjuk siapa yang menentukan kondisi ini. Kondisi inability hanya dapat ditentukan oleh presiden sendiri atau oleh wakil presiden dan mayoritas pimpinan departemen eksekutif yang menyatakan presiden unable to discharge the powers and duties of his office dan diserahkan ke Senat dan House of Representative untuk diambil keputusan. Jika dibandingkan dengan Konstitusi Indonesia, pengaturan mengenai hal ini relatif hanya dapat ditemukan dalam Pasal 6 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebut bahwa seorang calon presiden atau wakil presiden harus memenuhi syarat mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.

Ketentuan ini kemudian disebut lagi oleh Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa alasan pergantian presiden, selain mangkat, berhenti, atau diberhentikan adalah alasan ketidakmampuan, yaitu disebutkan dalam kalimat “tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya”. Pengaturan itu memang tampak belum memadai. Dengan demikian potensi menggunakan syarat kesehatan sebagai objek kontroversi politik masih terbuka. Pengaturan dan ilustrasi seperti disebutkan di atas mengisyaratkan bahwa jika pengaturan mengenai syarat kesehatan minim dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan, artinya hal itu membiarkan kondisi kesehatan presiden diputuskan secara politik.

Memutuskan secara politik tentu tidak bijaksana karena sebenarnya kondisi ini faktual dan dapat terukur. Namun peraturan perundang-undangan bukanlah segalanya dalam menentukan terjadinya stabilitas politik dan pemerintahan. Tindakan bijaksana setiap pihak pengambil putusan politik juga menentukan terciptanya harmoni dan stabilitas politik dan pemerintahan.

Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H.
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

Sumber : koran-sindo.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *