RILIS MEDIA : Diskusi Online “Pro-Kontra RUU Cipta Kerja (Omnibus Bill)”


Pemateri:

  1. Satya Bhakti Parikesit (Deputi Perekonomian Sekretariat Kabinet RI)
  2. Yunani Abiyoso (Direktur Eksekutif PSHTN UI)
  3. Feri Amsari (Direktur PUSaKO Unand)
  4. Alghiffari Aqsa (Pengacara Publik)

Moderator: Ryan Muthiara Wasti (Peneliti PSHTN UI)

Minggu, 3 Mei 2020, Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas telah mengadakan Diskusi Online dengan Tema “Pro-Kontra RUU Cipta Kerja (Omnibus Bill)” Pada Pukul 13.00-16.25 WIB melalui media daring.

Diskusi dimulai dengan pemaparan pertama oleh Satya Bhakti Parikesit selaku Deputi Perekonomian Sekretariat Kabinet RI, yang memberikan pandangannya dari perspektif Pemerintah. Menurut Satya, Pemerintah memandang pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) tetap perlu dilanjutkan ditengah pandemi Covid-19 ini sebagai langkah untuk mengantisipasi dampak ekonomi yang akan muncul karena adanya pandemi ini. Dia menambahkan, saat ini, di Indonesia, terdapat 79 undang-undang terkait dunia usaha yang berhadapan dengan sistem administrasi yang masih sangat birokratis. Bukan hanya terhadap investasi asing, semua undang-undang itu juga dinilai menciptakan hambatan yang besar bagi bisnis dalam negeri, termasuk perizinan bagi UMKM.

Oleh karena itu, salah satu langkah Pemerintah untuk meningkatkan ekonomi yang sedang lesu di tengah wabah dan memudahkan sistem perizinan yang saat ini terjadi, RUU Ciptaker dengan metode omnibus bill ini justru harus segera dibahas karena akan menjadi salah satu solusi dari permasalahan ekonomi bangsa yang saat ini sedang melanda Indonesia.
Pembicara kedua, Yunani Abiyoso, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) FHUI, memberikan pandangan dari perspektif Hukum Tata Negara dan kelembagaan. Menurutnya, RUU Ciptaker akan menjadi executive heavy, di mana banyak kewenangan Pemerintahan yang sebetulnya sudah terdelegasikan kepada kementerian ataupun pemerintah daerah, malah justru ditarik menjadi kewenangan Presiden. Sebagai contoh dalam hal perizinan, dalam RUU ini, kewenangannya ditarik ke Presiden. Hal ini berarti akan banyak sekali Keppres tentang perizinan yang harus ditandatangani Presiden. Apakah ini fenomena Presiden tidak percaya para menteri pembantunya?

Dirinya juga menyoroti perihal akan muncul setidaknya 9 Lembaga Pemerintah baru ketika ombinus bill ini disahkan, contohnya adalah Sekretariat Kawasan Ekonomi Khusus dan Lembaga Pengelola Investasi. Menurut Yunani, urgensi pembentukan lembaga baru di pemerintahan harus betul-betul diperhitungkan urgensinya, apakah karena lembaga yang ada mandeg atau urusan pemerintahan yang ada belum ada yang mengurusi.

Terakhir, Yunani menekankan tentang peran pengadilan dan Mahkamah Agung (MA) dalam penegakan hukum. Menurutnya, hakim dan aparat pengadilan bukanlah legislator yang juga harus memikirkan untuk menerbitkan peraturan bagaimana suatu perkara atau masalah diselesaikan. Tugas pokok pengadilan adalah memutus perkara di pengadilan. Selama ini, MA banyak menerbitkan PERMA yang mendukung kemudahan berusaha seperti PERMA Gugatan Sederhana. Masih ada problem lain, seperti pelaksanaan putusan. Oleh karenanya, perlu peran dan pemikiran menyeluruh dari Pemerintah dan DPR terkait masalalah-masalah pada dunia peradilan.

Sementara itu, Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas memberikan pandangannya dari perspektif proses legislasi atau pembentukan undang-undang. Feri mengatakan, secara metode, prosedur ombinus bill memang sudah diterapkan di berbagai negara. Proses ini, pada awalnya dianggap menjadi jalan cepat, karena dianggap langsung bisa memangkas anggaran rapat dan waktu pembuatan undang-undang, ketimbang harus dibuat satu persatu. Namun, kritik ini kemudian muncul di Kanada dan Amerika Serikat karena dinilai rawan terjadi pasal titipan dan penyimpangan dalam UU tersebut.

Salah satu metode yang dimunculkan kemudian untuk mengurangi pasal titipan yang akan dimunculkan adalah omnibus bill dengan satu tema seperti yang dilakukan pada UU Pemilu. Feri menilai, bila omnibus bill RUU Ciptaker ini tetap diteruskan, ia dapat menjadi salah satu hal yang berbahaya dan menjadi salah satu warisan otoritarianisme legislasi kedepannya dari Pemerintah Jokowi.

Pembicara terakhir, Alghiffari Aqsa, mengatakan, menciptakan omnbinus law dengan ribuan halaman dapat mengancam hak konstitutionalitas warga negara. Secara materi, ini akan menghadirkan 79 UU baru yang tidak sesuai dengan keinginan awal, karena hal yang dibahas hanya serba sedikit dari semua undang-undang yang direvisi, sementara substansi lain dari semua UU itu masih tetap berlaku. Hal ini nantinya berpotensi ‘meruntuhkan’ bangunan atau konsep awal dari undang-undang yang pasal-pasalnya direvisi oleh omnibus law ini. Setiap cluster, misalnya perburuhan, memiliki beberapa undang-undang yang harus dibahas. Apabila tujuannya penyederhanaan, maka lebih baik UU tersebut dibahas dalam satu tema saja.
Akhir diskusi ditutup dengan sesi tanya jawab dan masukan dari para peserta mengenai hal-hal yang terkait dengan ombinus bill ini. Partisipasi masyarakat harus didorong untuk menciptakan produk undang-undang yang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal yang menjadi pro-kontra harus dibahas dengan tuntas agar kelak tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Narahubung :
Muhammad Abdoel Aziz – PSHTN UI (+62 821-8266-0416)
Khansa Millenia -PUSaKO UNAND(+62 822-8454-9468)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *