Rilis Media PSHTN FHUI: Inkonstitusionalitas Perppu Stabilitas Ekonomi untuk Penanganan Covid-19

Rilis Media
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia
INKONSTITUSIONALITAS PERPPU STABILITAS EKONOMI UNTUK PENANGANAN COVID-19

Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)  telah menjadi fenomena dunia dalam tempo beberapa bulan terakhir ini. Mengutip data WHO, laman resmi Gugus Tugas Penanganan Covid19, www.covid19.go.id, menyatakan bahwa saat ini 215 dari 241 wilayah negara-negara di dunia telah terjangkit Covid-19.  Untuk merespon hal tersebut, per tanggal 31 Maret 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 (Perppu No. 1/2020). Perppu ini berjudul Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Perppu No. 1/2020 ini dikeluarkan bersama dengan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) (PP No. 21/2020) dan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (Covid-19) (Keppres 11/2020). Belakangan, Presiden menerbitkan lagi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 (Perpres No. 54/2020). Perpres No. 54/2020 ini merupakan aturan turunan dari Perppu No. 1/2020. 

Perppu No. 1/2020 sendiri mengatur bagaimana  Pemerintah dapat mengambil langkah kebijakan secara cepat untuk menyelamatkan keuangan negara akibat wabah Covid-19. Namun demikian, Perppu ini ternyata juga menyimpan potensi pelanggaran yang dapat mengganggu praktik ketatanegaraan di Indonesia. Muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI ini terdapat pada Pasal 12, 27, dan 28.

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) berpandangan, terdapat paling kurang 5 (lima) catatan kritis terkait materi muatan Perppu No. 1/2020. Pertama, Perppu ini berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 Perppu No. 1/2020 telah memberikan ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres. Hal ini sama saja dengan menghilangkan checks and balances, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara. Kondisi demikian tentu akan membuat celah kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara tanpa adanya persetujuan dari rakyat melalui DPR. Padahal, salah satu gagasan besar dari tercetuskannya gerakan reformasi 22 tahun silam, adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif.

Kedua, substansi dari Pasal 27 Perppu No. 1/2020 yang menjadikan sejumlah pengawasan konstitusional yang dilakukan DPR maupun kewenangan lembaga yudisial dalam menyidangkan perkara terkait penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh pejabat publik dalam penanggulangan Covid-19 menjadi hilang. Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu No. 1/2020, termasuk juga pengguna anggaran. Bahkan, segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu No. 1/2020 bukanlah merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Hal ini tentu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, serta pelanggaran terhadap prinsip rule of law, dimana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya.

Ketiga, Pasal 28 Perppu No. 1/2020 yang meniadakan keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, yakni Perpres No. 54/2020. Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR. Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini.

Keempat, Perppu No. 1/2020 ini juga memiliki pendekatan yang tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait dengan penanganan Covid-19 di Indonesia. Dalam Perppu ini, tidak tergambar secara jelas bagaimana public health policy yang diharapkan masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini.

Kelima, tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan “Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)” atau pun “Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan”. Tidak ditemukan kriteria yang menentukan dua kondisi di atas dalam pasal-pasal Perppu No. 1/2020 tersebut. Ketiadaan pengertian tersebut akan berdampak pada kelonggaran para pelaksana kebijakan untuk menyatakan dalil instabilitas keuangan tanpa adanya tolak ukur. Dalam kondisi demikian maka pelaksanaan Perppu tersebut berpotensi besar untuk disalahgunakan.

Atas dasar kelima catatan tersebut, maka PSHTN FHUI merekomendasikan beberapa hal berikut:

  1. Perlunya pemisahan dua konsep penyelamatan yang diatur dalam Perppu No. 1/2020. Sehingga perlu ada dua pengaturan (Perppu) terpisah yakni  Perppu Covid-19 dan Perppu tentang stabilitas keuangan negara.
  2. Perlunya pengaturan baru tentang Perppu Covid-19 yang memiliki kandungan yang terkait dengan kebijakan kesehatan publik seperti pengaturan mengenai jaminan ketersediaan peralatan medis, farmasi, kebijakan kesehatan, serta kebijakan kesehatan masyarakat terkait Covid-19.
  3. DPR harus menolak Perppu ini dalam Sidang Paripurna agar Pemerintah dalam keadaan normal dan tidak dihantui unsur kegentingan memaksa, dapat memperbaiki kembali substansi dari Perppu sehingga kebijakan terkait penyelamatan keuangan negara dan upaya menghadapi Covid-19 ini dapat lebih tertata dan tepat sasaran.
  4. Meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pengujian Perppu 1/2020 yang saat ini masih berlangsung. Dengan demikian, Perppu tersebut tidak lagi memiliki daya ikat dan dinyatakan inkonstitusional.

Demikian rilis ini kami sampaikan sebagai bentuk sumbangsih intelektual yang didasari kecintaan kami kepada negeri ini, demi terwujudnya sistem ketatanegaraan yang lebih tanggap terhadap bencana.

Jakarta, 11 Mei 2020

Dr. Mustafa Fakhri, S.H., M.H., LLM.
Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Narahubung:
Qurrata Ayuni, S.H., MCDR. (081295388595)
Manajer Program PSHTN FHUI

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *