Gugatan Terhadap Perpres Wamen

Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) kembali akan menggugat eksistensi wakil menteri (wamen) dalam Kabinet Indonesia Bersatu II pascaputusan Mahkamah Konstitusi dan setelah pemberlakuan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor: 60 Tahun 2012, yang mengukuhkan kembali keberadaan wamen.

Gugatan akan diajukan ke Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan yang berwenang melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Buat sebagian masyarakat, lelah rasanya menyaksikan apa yang dilakukan GNPK. Ada satu pertanyaan pembaca yang menggelitik hati saya, yang sempat muncul di situs mediaindonesia.com, Minggu (10/6) malam, menanggapi rencana gugatan GNPK terhadap perpres yang baru. Sang pembaca berkomentar, “Mengapa mesti digugat lagi, sih? Apa tidak ada kerjaan lain?”

 

Perlu Dikoreksi

Dalam tulisan ini, walaupun tak punya kaitan langsung dengan niat GNPK, saya ingin memberikan tanggapan atas pertanyaan yang terlihat sederhana tadi. Perpres baru ini perlu dikoreksi karena dua alasan.

Pertama, dari sudut pandang efisiensi. Menurut data GNPK, dalam waktu tiga tahun, 20 wamen bisa menghabiskan APBN sebesar Rp1,84 triliun. Siapa yang tak terperanjat mendengar angka yang disampaikan Minggu (10/6) pagi lewat laporan Metro This Week di Metro TV?

GNPK rupanya tak puas melihat perincian pekerjaan wamen yang begitu luas, yang seharusnya hanya melakukan hal-hal yang benar-benar khusus pada kementerian tertentu, sehingga jumlahnya pun tak perlu terlalu banyak. Saat ini ada 18 wamen dari 34 kementerian. Presiden hendaknya dapat meredam polemik berkepanjangan dengan mengurangi jumlah wakil menteri. Tujuannya tentu demi efisiensi.

Pasal 3 Perpres No. 60 Tahun 2012 menyebutkan tugas wamen ialah: a) membantu menteri dalam proses pengambilan keputusan kementerian; b) membantu menteri dalam melaksanakan program kerja dan kontrak kerja; c) memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada menteri berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian; d) melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas dan fungsi kementerian; dan e) membantu menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian jabatan di lingkungan kementerian.

Dengan cakupan tugas yang demikian luas, berarti wamen tidak hanya menangani tugas tertentu. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 UU No. 38 Tahun 2009 tentang Kementerian Negara yang menyatakan, “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.”

Oleh sebab itu, perpres sebagai peraturan pelaksana dan posisinya lebih rendah dari undang-undang perlu dikoreksi. Dalam sistem hukum yang berlaku di negara kita, koreksi itu dapat dilakukan di MA melalui upaya hukum yang dikenal sebagai judicial review.

Upaya hukum itu pun masih bisa berlanjut di pengadilan tata usaha negara (PTUN) bila dari perpres ini lahir keputusan presiden yang isinya berupa penetapan terhadap pengangkatan para wamen yang berakibat merugikan pihak-pihak tertentu.

Jalur Konstitusional

Kedua, gugatan terhadap perpres baru perlu dilakukan demi alasan pendidikan bagi masyarakat akan ilmu dan kesadaran hukum. Dengan diajukannya gugatan terhadap perpres tersebut ke lembaga peradilan, secara tak langsung kita telah mendidik masyarakat untuk mengoreksi pemerintah melalui cara-cara yang benar dan ilmiah, bukan dengan cara-cara yang anarki.

Judicial review merupakan salah satu sarana yang disediakan melalui prinsip demokrasi yang dianut negara kita. Apalagi dalam UUD 1945 ditegaskan Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Dengan demikian, bila terdapat ketidakpuasan terhadap penyelenggara negara dan hasil perbuatannya, tentunya kita harus mencari solusi dengan berdasar hukum, dalam hal ini lewat penegakkan peraturan perundang-undangan.

Sebagai pengajar di fakultas yang mengajarkan ilmu tentang perundang-undangan, saya bisa mengerti mengapa gugatan terhadap perpres wamen dilakukan. Sebab, itulah cara yang aman untuk melakukan koreksi dan bersifat mendidik.

Mungkin sang pembaca tadi berpendapat, mengapa GNPK tidak memberikan koreksi langsung kepada Presiden, melalui surat pribadi, misalnya. Cara seperti itu juga baik tentunya, tetapi surat koreksi itu tetap harus diumumkan kepada masyarakat sebagai upaya pendidikan agar masyarakat mengerti mengapa perpres itu harus diubah.

Namun, bagi GNPK tentunya tidak ada jaminan bahwa Presiden akan melakukan perubahan karena saran GNPK itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Di situlah letak permasalahannya, mengapa upaya koreksi kemudian dilakukan lewat lembaga peradilan.

Kepada sang pembaca tadi, mudah-mudahan kini mengerti mengapa gugatan itu diajukan. Kalau tidak ada upaya koreksi, artinya kita membiarkan pemerintah dalam kesalahan. Tentu saja kita tidak mau pengalaman buruk di masa diktator Orde Baru terulang kembali.

Mohammad Novrizal Bahar

Dosen Fakultas Hukum UI

(opini yang dimuat pada harian Lampung Post, edisi 12 Juni 2012) 

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *