POLEMIK KEPULANGAN WNI EKS ISIS: MENCARI SOLUSI TERBAIK

Sumber gambar: bbc.com

Salah sendiri! Begitulah mungkin kira-kira tanggapan sebagian masyarakat yang menolak Warga Negara Indonesia yang pernah tergabung ke dalam gerakan terorisme ISIS di Syria untuk kembali ke Indonesia. Setidaknya polemik ini harus dipandang utuh menurut pandangan hukum dan kemanusiaan. Pihak yang menolak kedatangan berpendapat bahwa menerima WNI eks ISIS akan menimbulkan masalah di dalam negeri, bukan tidak mungkin mereka akan melakukan aksi teror di Indonesia. Di sisi lain, pihak yang menerima kepulangan WNI eks ISIS beranggapan bahwa sisi kemanusiaan harus dikedepankan karena mereka juga manusia yang butuh tempat pulang. Melihat fenomena ini, penting bagi pemerintah mengkaji persoalan ini secara jernih dan sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal tersebut penting dilakukan karena tindakan penolakan kepulangan WNI eks ISIS memiliki potensi melanggar hak asasi manusia dan melanggar hukum di Indonesia.

Melanggar Hak Asasi Manusia
Ketentuan hak asasi manusia baik yang berlaku secara internasional maupun nasional mengatur bahwa kewarganegaraan adalah hak asasi tiap manusia. Hannah Arendt sendiri berpendapat bahwa kewarganegaraan adalah “right to have rights”. Arendt berpendapat bahwa kewarganegaraan adalah hak fundamental manusia. Menurut Arendt, kewarganegaraan adalah pangkal dari banyak hak, seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk mendapatkan perlindungan, hak untuk penghidupan yang layak, dan hak-hak lainnya. Oleh karena itu, tindakan pencabutan kewarganegaraan ataupun banishment (pembuangan) yang menyebabkan seseorang stateless merupakan sebuah tindakan kejahatan terhadap hak asasi manusia. Sejalan dengan Arendt, Macklin berpendapat bahwa tindakan banishment adalah sebuah upaya yang berlebihan dan kuno. Padahal, menurut Macklin, negara-negara di dunia saat ini memiliki langkah hukum untuk melakukan rehabilitasi dan integrasi pelaku kejahatan untuk kembali dan dapat diterima oleh masyarakat, seperti rehabilitasi untuk kasus narkoba dan deradikalisasi untuk kasus terorisme.

Namun, setidaknya ada dua pengecualian yang diperbolehkan dalam hal pencabutan kewarganegaraan. Yang pertama adalah apabila seseorang dalam mendapatkan status kewarganegaraannya melakukan tindakan melawan hukum seperti melakukan pemalsuan, kebohongan, ataupun tindakan melawan hukum lainnya. Yang kedua, adalah apabila terdapat pelanggaran loyalitas terhadap negara. Pelanggaran loyalitas ini pun terbatas hanya pada individu yang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan (dual citizenship).

Berdasarkan hal diatas, wacana menolak pulangnya WNI eks ISIS kembali ke Indonesia memiliki potensi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Padahal, seperti yang dikatakan oleh Macklin, Indonesia telah memiliki ketentuan sendiri tentang deradikalisasi seperti yang diatur pada Undang-Undang No 5 Tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Tindak Pidana Terorisme). Selain itu, Indonesia sendiri sudah mengatur bahwa kewarganegaraan adalah hak asasi manusia sebagaimana yang disebutkan oleh Hannah Arendt bahwa kewarganegaraan adalah right to have rights. Hal ini secara eksplisit diatur melalui Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No 39 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa kewarganegaraan adalah hak setiap orang yang didalamnya melekat hak-hak lainnya.

Dalam hal pengecualian terhadap pencabutan kewarganegaraan, WNI eks ISIS pada dasarnya merupakan warga negara Indonesia yang dapat diasumsikan bahwa mereka mendapatkan kewarganegaraannya sedari lahir. Oleh karena itu, pengecualian karena pelanggaran atas proses mendapatkan kewarganegaraan memiliki risiko yang kecil terjadi, meskipun tetap harus dilakukan pengecekan lebih lanjut. Kemudian berdasarkan pengecualian kedua, Indonesia tidak mungkin menerapkan pengecualiannya ini karena Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal. Oleh karena itu, WNI eks ISIS tetap memiliki hak untuk mendapatkan status WNI mereka tanpa dihalangi oleh siapapun. Apabila Indonesia tidak mengakui mereka sebagai WNI, WNI eks ISIS ini terancam tidak memiliki kewarganegaraan karena mereka tidak menjadi warga negara manapun, dan ISIS bukanlah negara yang diakui oleh seluruh negara di dunia.

Status Kewarganegaraan Tidak Hilang Menurut Hukum
Meskipun sempat beredar video pembakaran paspor Indonesia yang dilakukan oleh para WNI yang tergabung dalam gerakan ISIS, hal ini tidak serta merta membuat mereka kehilangan status kewarganegaraan Indonesia.

Setidaknya ada beberapa alasan yaitu sebagai berikut. Pertama, Paspor adalah dokumen perjalanan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2013. Perusakan terhadapnya tidak secara otomatis membuat kewarganegaraan seseorang hilang. Aturan mengenai kehilangan status kewarganegaraannya diatur secara spesifik dalam Pasal 23 UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan), ada 9 (sembilan) kondisi dimana seseorang dapat dinyatakan kehilangan warga negara. Di dalam ketentuan Pasal 23 tersebut, apabila WNI eks ISIS menyatakan tetap ingin menjadi WNI dan kemudian pemerintah melakukan penolakan atas permintaan tersebut, tindakan pemerintah itu dapat menyebabkan seseorang menjadi tanpa kewarganegaraan, maka hal tersebut jelas melanggar hukum. Hal ini melanggar ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 36 UU Kewarganegaraan yang menyebabkan seseorang kehilangan kewarganegaraannya ataupun kehilangan kesempatan untuk memperoleh kembali kewarganegaraannya.

Kedua, pemberlakuan UU Kewarganegaraan dilakukan dengan menerapkan asas-asas penting dalam kewarganegaraan. Diantara asas-asas penting tersebut adalah asas perlindungan maksimum yang tercantum dalam penjelasan UU Kewarganegaraan. Asas perlindungan maksimum artinya negara wajib melindungi secara penuh setiap WNI dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun. Dalam konteks WNI eks ISIS, mereka tetap secara sah memiliki status WNI karena mereka tidak kehilangan status WNI berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan. Hal ini selaras dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berkomitmen untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, termasuk WNI eks ISIS.

Ketiga, WNI eks ISIS terdiri dari banyak anak dan wanita yang menjadi korban karena dibawa oleh orangtua atau suami mereka. Justru pemberlakuan UU 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan didasarkan pada filosofi perlindungan terhadap wanita dan anak-anak sebagaimana dicantumkan dalam penjelasan UU Kewarganegaraan tersebut. Hal ini dikarenakan undang-undang kewarganegaraan sebelum UU 12 tahun 2006 menganut banyak ketentuan yang melakukan diskriminasi terhadap anak-anak dan perempuan. Oleh karena itu, apabila pemerintah memutuskan untuk tidak menerima WNI eks ISIS kembali, maka korban yang paling dirugikan adalah anak-anak dan perempuan. Hal ini jelas bertentangan dengan filosofi diberlakukannya UU Kewarganegaraan itu sendiri.

Deradikalisasi Sebagai Jalan Keluar
Joppke berpendapat bahwa hak atas kewarganegaraan sudah seharusnya diberikan tanpa syarat. Apabila tindakan terorisme yang dilakukan diluar negeri harus dijatuhkan hukuman pencabutan kewarganegaraan, maka pertanyaan kritisnya adalah mengapa tindakan terorisme yang dilakukan di dalam negeri tidak diberlakukan hukuman yang sama?

Bauböck berpendapat bahwa pencabutan status kewarganegaraan teroris ataupun orang yang terpapar paham radikalisme merupakan bentuk abainya tanggung jawab negara atas warga negaranya. Menurut Bauböck, tindakan tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bertanggung jawab karena negara tersebut memindahkan risiko teror di negaranya ke negara lain. Kondisi tersebut tidak akan menyelesaikan pangkal permasalahan terorisme itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan untuk mencabut status kewarganegaraan WNI eks ISIS tidak dilandaskan pada pijakan hukum dan rasionalisasi yang kuat.

Seperti yang dikatakan oleh Macklin, dalam menentukan sikap atas kepulangan WNI eks ISIS, pemerintah Indonesia sudah sepantasnya menggunakan jalan deradikalisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 43D UU Tindak Pidana Terorisme. Memang deradikalisasi bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Diperlukan suatu perencanaan yang terstruktur dan terpadu agar dapat mengurangi dan mmebalikkan pemahaman para WNI eks ISIS yang telah terpapar paham radikal. Meskipun hal tersebut sulit dilakukan, setidaknya pemerintah telah berupaya menjalankan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Ali Abdillah, S.H., LL.M.

Pengajar Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI

(Dimuat dalam harian Republika, 12 Februari 2020)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *