Impeachment, antara Perlindungan dan Ancaman

Sumber gambar: ABC News

Hasil sidang impeachment di senat Amerika Serikat Rabu 5/2 lalu telah menempatkan Donald Trump sebagai Presiden ketiga Amerika Serikat yang lolos dari ancaman impeachment. Sejarah ketatanegaraan Amerika Serikat memang mencatat hanya tiga presiden yang pernah mengalami proses impeachment dan ketiganya lolos dari upaya menjatuhkan mereka dari kursi kepresidenannya (remove from office). Fakta ini telah menyebabkan timbul anggapan bahwa bagi orang Amerika Serikat aturan-aturan Konstitusi mengenai impeachment lebih dianggap upaya perlindungan terhadap presiden daripada ancaman terhadap legitimasinya. Anggapan ini beralasan jika melihat statistik upaya penjatuhan presiden Amerika Serikat melalui jalan impeachment. Lebih 200 tahun lebih Amerika Serikat memiliki jabatan presiden dan 45 orang telah mengisi jabatan tersebut, namun tidak ada satupun presiden berhasil dijatuhkan di tengah masa jabatannya melalui jalan impeachment.

Impeachment sebagai Perlindungan

Anibal Perez Linan dalam pengamatannya terhadap fenomena impeachment di Amerika Serikat menyebutkan bahwa impeachment di Amerika Serikat lebih berposisi sebagai perangkat pendukung stabilitas kekuasaan eksekutif daripada ancaman instabilitas pemerintahan. Tidak mudah seorang presiden untuk masuk dalam dakwaan melakukan pelanggaran hukum untuk memulai proses impeachment dan selanjutnya, diantara yang sedikit masuk dalam proses impeachment, akan lolos tanpa harus dilepas dari jabatannya. Pendapat-pendapat seperti ini bahkan telah dipegang oleh banyak ahli yang melihat impeachment dalam konteks Amerika Serikat dan negara-negara bersistem presidensial lain sebelum tahun 1990-an. Buku-buku yang terbit pada tahun 1950-an menganggap impeachment hanya sebuah pengecualian dan kejadian yang luar biasa karena tidak adanya presiden dan wakil presiden yang berhadapan dengan ancaman ini.

Alasan yang menjadi landasan impeachment di Amerika Serikat memang merupakan delik hukum sebagaimana yang ditemukan dalam article II sec 4 yang menyebutkan treason (pengkhianatan terhadap negara), bribery (penyuapan) or other high crimes (tindak pidana berat lainnya), and misdemeanors (perbuatan tercela) sebagai delik-delik alasan impeachment. Namun mekanisme impeachment di Amerika Serikat nampak memberi kewenangan besar kepada parlemen daripada kekuasaan kehakiman. Putusan akhir proses impeachment diambil dalam persidangan di The Senate setelah sebelumnya dakwaan diajukan oleh kamar lain dari parlemen yaitu House of Representative. Dalam persidangan senat yang mengambil putusan tentang impeachment berbeda dibanding sidang lainnya karena ketua sidang diserahkan kepada Ketua Mahkamah Agung (Chief Justice). Namun proses pengambilan putusan tetap didasarkan kepada suara terbanyak dari anggota Senat. Pengambilan putusan pemberhentian presiden Amerika Serikat memerlukan dukungan 2/3 anggota senat. Keterlibatan kekuasaan kehakiman memang terbatas dan penentunya adalah suara mayoritas anggota parlemen, baik ketika melakukan pendakwaan melalui House of Representative maupun sidang akhir putusan impeachment di Senat.

Oleh karena itu nasib presiden dalam proses impeachment ditentukan seberapa besar partai pendukung presiden di parlemen dan loyalitas anggota partai pendukung tersebut terhadap kepala eksekutif. Artinya presiden akan berhasil diusir dari jabatannya hanya karena dua sebab, yaitu; Pertama, partai pendukung presiden terlalu kecil di parlemen untuk mampu menghambat proses impeachment dan Kedua, anggota-anggota/partai-partai pendukung berubah pendirian dan berbalik mendukung impeachment.

Presiden-presiden di Amerika Serikat tidak pernah mengalami kedua situasi di atas, sehingga mereka tidak pernah berhasil diberhentikan dalam jabatannya, bahkan jarang sekali berhasil hanya sekedar didakwa untuk memulai proses impeachment. Realitas kepartaian Amerika Serikat yang two party system memegang peranan utama. Parlemen di Amerika Serikat tidak terfragmentasi karena memang hanya ada dua partai yang duduk di house of representative ataupun di senate. Dengan kondisi ini tingkat kesulitan presiden untuk mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen relatif kecil. Demikian pula untuk menjaga soliditas dukungan kepada presiden. Presiden relatif hanya perlu mengendalikan anggota-anggota parlemen di partainya saja.

Impeachment di Amerika Latin

Situasi berbeda bahkan cenderung bertentangan ditemui dalam kasus-kasus di Amerika Latin. Fenomena impeachment di negara-negara Amerika Latin telah membantah asumsi bahwa ancaman penjatuhan presiden di sistem presidensial merupakan sesuatu yang sulit terjadi seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Prinsip presidensialisme memberi pesan bahwa keterpisahan pemilihan eksekutif dan legislatif dalam dua pemilu yang berbeda (dual democratic legitimacy) akan menghasilkan kekuasaan yang tidak bisa saling menjatuhkan karena eksekutif dan legislatif tidak saling memberikan legitimasi. Legitimasi kedua lembaga kekuasaan tersebut langsung dari rakyat.

Namun di Amerika Latin, ancaman penjatuhan presiden yang tidak terjadi dalam sistem presidensial di Amerika Serikat menjadi realitas umum. Bahkan Linan menyebut bahwa impeachment telah menjadi tradisi pengganti kudeta militer yang sering terjadi di Amerika Latin pada masa otoritarianisme dulu sebagai cara penggantian presiden di tengah masa jabatannya. Dalam catatan Negretto, pada rentang 1978 hingga 2003 di Amerika Latin terdapat 14 presiden yang diinterupsi di tengah masa jabatannya. Sementara, Leiv Marsteintredet mendokumentasi sejak 1985 hingga 2009 terdapat 15 presiden di Amerika Latin yang diinterupsi di tengah masa jabatannya Setelah tahun 2009 hingga kini, presiden jatuh di tengah masa jabatannya juga tidak berhenti di Amerika Latin. Fenomena impeachment di sistem presidensial Amerika Latin bahkan dianggap sudah seperti praktek mosi tidak percaya di sistem parlementer karena tingginya frekuensi terjadinya.

Para pengkaji fenomena impeachment di Amerika Latin umumnya menyatakan bahwa rusaknya hubungan dan kerjasama antara presiden dan parlemen telah menjadi penyebab penting jatuhnya presiden di tengah masa jabatannya. Penelitian Linan terhadap proses impeachment di 18 negara Amerika Latin telah membuatnya berkesimpulan bahwa walaupun parlemen tidak selalu menjadi satu-satunya pihak yang terlibat dalam putusan untuk memberhentikan presiden namun para anggota legislatif memainkan peranan penting dalam melakukan otorisasi putusan pengadilan yang memutuskan presiden bersalah. Parlemen memang telah menjadi aktor utama dalam proses impeachment di Amerika Latin, seperti juga di Amerika Serikat.

Namun tidak seperti di Amerika Serikat, formulasi pengaturan mekanisme impeachment yang memberi peran besar kepada parlemen, di Amerika Latin bertemu dengan situasi kepartaian dan parlemen yang kondusif untuk menggulingkan presiden di tengah masa jabatannya. Di Amerika Latin kepartaiannya bercorak multiparty system ditambah lagi parlemen terfragmentasi tinggi. Banyak partai yang duduk di parlemen dan tidak satupun partai mendapatkan suara mayoritas mutlak bahkan jauh dari mayoritas mutlak. Kondisi ini menyebabkan presiden sering kali sulit mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen bahkan presiden kadang berasal dari partai dengan perolehan kursi minim di parlemen (minority president). Dalam kondisi ini, presiden yang gagal membangun koalisi besar dan kohesif akan menuai situasi pemerintahan yang terbelah (divided government). Kondisi divided ini merupakan situasi kondusif untuk memulai impeachment dan berakhir dengan jatuhnya presiden. Penelitian Kim dan Bahry tahun 2008 menyatakan bahwa sumber interupsi terhadap presiden di masa jabatannya di negara-negara demokrasi sejak tahun 1974 hingga tahun 2003, secara statistik, dipengaruhi oleh faktor terjadinya divided government dan meningkatnya fragmentasi partai politik di parlemen.

Impeachment bisa menjadi upaya perlindungan bagi presiden namun juga dapat menjadi ancaman bergantung kepada corak sistem kepartaian dan situasi parlemen di suatu negara. Jika melihat realitas kepartaian dan parlemen di Indonesia nampak lebih dekat dengan negara-negara Amerika Latin daripada Amerika Serikat.

Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H.
Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

(dimuat pada koran Republika, 10 Februari 2020)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *