Memilih Capres dan Kabinetnya

Calon Presiden dan Wakil Presiden yang dikampanyekan untuk Pilpres 2019. (gtv.id)

Reli kampanye calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres) Indonesia beberapa bulan ini tambah menarik, karena dipenuhi dengan janji-janji para kandidat.

Namun demikian, hal paling penting dari setiap janji adalah realisasinya. Realitas selama ini menunjukkan, janji saat kampanye pemilihan presiden (pilpres) merupakan janji yang paling sulit ditepati. Bisa jadi bukan karena keengganan atau khianat, tapi mungkin karena terbatasnya kapabilitas yang mendukung janji-janji tersebut terlaksana.

Berbagai topik dan materi disampaikan oleh para capres dan cawapres. Dari adu visi terkait hukum, hak asasi manusia, energi, pangan, sumber daya alam, hingga isu lingkungan. Debat terakhir oleh para cawapres dinilai yang paling menarik karena saling melontarkan janji, dimulai dari kartu-kartu sakti hingga penghapusan ujian nasional.

Begitu banyaknya hal yang harus diurus menunjukkan organisasi pemerintahan memiliki rentang kendali serta kewenangan pemerintahan yang begitu besar. Presiden harus memahami bahwa kemampuannya terbatas dan oleh karena itu perlu dibantu oleh wakil presiden dan para menteri.

Kekuasaan Eksekutif

Sebagaimana termaktub dalam UUD 1945, Presiden Republik Indonesia merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang sangat luas rentang kendalinya. Kekuasaan terkait legislasi contohnya, selain bisa membantu DPR dalam merancang undang-undang, juga berwenang memberlakukan peraturan pemerintah ataupun peraturan pelaksana lainnya terkait bidang atau urusan pemerintahan.

Kekuasaan strategis lainnya yaitu hubungan luar negeri, presiden juga harus cermat ketika mengambil kebijakan strategis terkait isu kawasan, kelautan, udara, perbatasan, serta kerja sama internasional yang berdampak pada keamanan dan kesejahteraan nasional.

Konstitusi telah mendesain bahwa presiden tidak sendirian, karena dibantu oleh seorang wakil presiden yang secara konstitusional dipilih secara bersamaan dalam pemilihan umum. Selain itu, presiden juga dibantu oleh para menteri yang merupakan orang-orang yang dipilihnya untuk memimpin pelaksanaan urusan-urusan pemerintahan.

Selain faktor kepemimpinan dan manajerial seorang presiden, realisasi visi dan janji kampanye juga bergantung pada kemampuan implementasi oleh para menteri. Kapabilitas seorang menteri, baik sebagai pelaksana maupun pemimpin di kementerian haruslah sangat mumpuni, karena para menteri inilah yang akan dituntut untuk menerjemahkan visi presiden ke dalam rencana kerja, program, dan kegiatan serta anggaran kementerian.

Maka tidak berlebihan rasanya jika pemilih mengharapkan calon presiden mem berikan ancangan para calon menterinya yang akan ikut merealisasikan visi kampanye. Rakyat pemilih sedari awal seharusnya sudah bisa mendapatkan informasi bagaimana visi kandidat presiden akan dilaksanakan.

Kabinet Bayangan

Secara konsep, pengumuman nama-nama calon menteri di kabinet sebelum pemilihan umum disebut kabinet bayangan, yang lazim dipraktikkan di negara dengan sistem pemerintahan parlementer. Kabinet bayangan ini biasanya dibentuk oleh oposisi pemerintah di parlemen untuk “menguliti” kebijakan yang dilaksanakan para menteri di kabinet.

Dalam situasi kampanye, kabinet bayangan ini pulalah yang ditawarkan kepada masya rakat tentang pemerintahan yang akan datang apabila oposisi terpilih sebagai pemenang pemilihan umum. Sebelum memimpin kabinet pada 1997, Tony Blair— perdana menteri populer di Inggris, merupakan pemimpin oposisi sekaligus pemimpin kabinet bayangan di parlemen sejak 1994.

Ketika kabinet Blair tumbang pada 2006, dirinya digantikan oleh David Cameron, yang merupakan pimpinan kabinet bayangan dua tahun sebelumnya. Praktik kabinet bayangan memang ini kurang lazim di negara dengan sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana Indonesia juga menerapkan sistem presidensial berdasar kan UUD 1945 setelah amendemen.

Namun, ada beberapa preseden yang dapat dijadikan rujukan, misalnya di beberapa kali pemilihan presiden di Amerika Serikat. Ketika Donald Trump meng ikuti konvensi calon presiden di Partai Republik pada 2016, dirinya mengumumkan beberapa nama calon menteri yang akan disampaikan kepada Senat nantinya jika terpilih menjadi presiden.

Memang tidak semua jabatan menteri, hanya beberapa pos menteri strategis seperti menteri keuangan, menteri luar negeri, dan menteri kesehatan. Sebelumnya pada 1980-an, pasangan bakal capres dan cawapres Ronald Reagen dan Gerard Ford jugamengumumkancalonnama menteri keuangan dan menteri luar negeri.

Praktik serupa juga terjadi di Ukraina belakangan ini yang akan melaksanakan pemilu pre siden pada 31 Maret mendatang. Salah satu kandidat presiden, Volodymyr Zelen skiy, selalu menyatakan pentingnya para kandidat mengusulkan kabinet mendatang. Bahkan, dirinya meminta para pendukungnya untuk memberikan masukan terhadap usulan nama-nama menteri yang dirinya tawarkan.

Memilih Capres dan Kabinetnya Kelak

Jika mencermati kekuasaan eksekutif menurut UUD 1945 dengan kondisi kekinian, pemilihan presiden sejatinya bukan sekadar memilih presiden dan wakilnya, melainkan juga memilih sekelompok orang yang akan mengelola organisasi besar yang disebut pemerintah untuk kurun waktu lima tahun.

Sekelompok orang ini yang akan merealisasi kan janji kampanye terhadap rakyat, atau malah mungkin yang akan mengkhianati janji tersebut. Berkaca dari praktik-praktik di negara lain, sebetulnya para kandidat presiden bisa saja mulai mengampanyekan pula para calon menterinya di kabinet kelak, setidaknya calon menteri yang akan menduduki pos strategis seperti keuangan, hukum, dalam negeri, dan luar negeri.

Praktik ini memang kurang lazim, terlebih di Indonesia, tapi bukan pula hal yang tabu apalagi terlarang. Bisa jadi dari sisi politik menjadi suatu keuntungan, apabila nama calon menteri yang dikampanyekan termasuk yang memiliki rekam jejak baik, apalagi populer.

Pada masa kampanye saat ini, rakyat pemilih yang paling diuntungkan jika mendapat kan informasi yang lebih banyak dan transparan dari para calon kandidat; tidak hanya mengenai visi kandidat, tapi juga bagaimana visi dan janji kampanye akan dilaksanakan. Dengan begitu, rakyat pemilih dapat semakin rasional dalam memilih untuk keberlanjutan pembangunan atau memilih untuk perubahan.

Sumber: koransindo.com

YUNANI ABIYOSO

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *