RUU Kontroversi di Masa Transisi

Aktivitas legislasi DPR tiba-tiba meningkat pesat di akhir masa jabatannya. Peningkatan aktivitas legislasi ini ditandai bukan saja dengan produktivitas yang tinggi namun juga menuai berbagai kontroversi dari segi substansi yang dihasilkan. Dari segi peningkatan produktivitas legislasi, DPR menjadi tiba-tiba produktif jika dibandingkan hampir lima tahun masa bakti yang sudah dijalaninya. Lebih menarik lagi, peningkatan produktivitasnya ini terjadi pada masa sidang terakhir menjelang pelantikan anggota baru atau dapat disebut sebagai masa transisi karena anggota baru sudah terpilih secara definitif namun belum dilantik. Masa ini biasa dikenal dengan sebutan lame duck session karena sebenarnya anggota lama sudah dalam posisi kekurangan legitimasi untuk membuat putusan, apalagi untuk mengambil putusan-putusan penting yang membutuhkan partisipasi publik tinggi dan berpengaruh besar bagi kehidupan kenegaraan.

Tiba Tiba Produktif


Peningkatan pesat aktivitas legislasi ini nampak cukup berbeda jika dilihat data prestasi legislasi DPR selama hampir lima tahun ke belakang. Capaian realisasi program legislasi nasional DPR jauh dari target yang dibuat oleh DPR sendiri. Kemampuan DPR menyelesaikan rancangan undang-undang pertahun-nya rerata di bawah 20 RUU. Itu sudah termasuk RUU Kumulatif Terbuka yang tidak memerlukan pembahasan panjang seperti pengesahan perjanjian internasioal dan pembentukan daerah provinsi atau kabupaten/kota. Jika dikurangi UU Kumulatif terbuka, kemampuan rerata DPR di bawah 10 UU pertahunnya. Bahkan pernah dalam setahun (selain UU Kumulatif Terbuka), DPR hanya memutuskan 5 UU atau di bawahnya, seperti pada tahun 2015 dan 2018.

Di tahun 2019 ini, di luar UU Kumulatif terbuka, DPR telah memutus paling tidak 4 (empat) buah RUU dengan materi yang cukup banyak (RUU Kebidanan, RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi serta RUU Pekerja Sosial) dan 2 (dua ) RUU perubahan dengan materi terbatas hanya beberapa pasal (RUU Perkawinan dan RUU MD3). RUU-RUU tersebut diselesaikan DPR dengan catatan pada tahun ini kesibukan anggota DPR sangat tinggi dalam pemilihan umum lalu. Artinya memutuskan 4 RUU dan 2 RUU dengan materi terbatas sudah merupakan kemampuan yang wajar jika melihat prestasi tahun-tahun sebelumnya dan kesibukan pemilihan umum yang menyita perhatian hampir seluruh anggota DPR selama berbulan-bulan.

Namun nampaknya DPR 2014-2019 tiba-tiba menjadi sangat intensif melaksanakan fungsi legislasi tidak seperti biasanya di masa sidang paling akhirnya ini. Kesibukan legislasi nampak meningkat pesat dan berbagai RUU mengantri untuk masuk ke paripurna. Rapat paripurna juga nampak meningkat frekuensinya. Dalam tiga pekan terakhir, DPR beberapa kali melaksanakan dua kali rapat paripurna dalam setiap pekannya. RUU masuk ke rapat paripurna bukan saja dalam rangka pembahasan tingkat II yang merupakan persetujuan DPR dan Pemerintah terhadap suatu RUU untuk menjadi undang-undang, namun masih terdapat beberapa RUU yang masuk paripurna untuk diputus sebagai RUU Insiatif DPR. Artinya, para anggota DPR masih ingin memulai pembahasan RUU dimaksud dengan pemerintah di waktu yang sangat sempit ini. Padahal masa sidang terakhir ini hanya berdurasi sekitar 1 bulan lebih (16 Agustus-30 Agustus/termasuk libur dan berbagai seremoni). Peningkatan frekuensi yang tidak biasa jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya ini tentu menimbulkan pertanyaan.

Beradu Legitimasi Berkorban Substansi


Kesibukan legislasi DPR di lame duck session ini bukan tanpa resiko, sejauh ini DPR sudah menuai berbagai protes terkait aktivitas legislasi ini. Protes masyarakat ini menunjukkan pembahasan RUU ini masih memerlukan mendengar partisipasi publik. Sebagaimana amanat UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, masyarakat berhak berpartisipasi dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini memberikan pesan bahwa partisipasi politik masyarakat tidak berhenti di bilik suara dan menyerahkan sepenuhnya para wakil rakyat mengambil putusan atas nama para pemilihnya.

Menghitung partisipasi politik hanya dari bilik suara terbukti tidak akurat. Dapat dijumpai di berbagai negara-negara yang maju secara demokrasi justru memiliki partisipasi rakyat dalam pemilu yang rendah dan sebaliknya negara-negara yang cenderung otoriter partisipasi politik dalam pemilu justru relatif tinggi. Indikator kemajuan demokrasi bukan hanya dilihat dari kehadiran pemilih di bilik suara tetapi juga dinilai dari seberapa besar ruang yang dibuka para pembentuk undang-undang bagi partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan. Oleh karena itu, para pembentuk undang-undang harus membuktikan mereka membuka peluang partisipasi masyarakat dengan berbagai forum yang dengan mudah diakses oleh publik. Bukan malah mengajak masyarakat beradu legitimasi dan beranggapan paling berhak menentukan hanya karena dipilih dalam pemilu.

Apalagi, dalam konteks saat ini, para pembentuk undang-undang tengah mengalami problem legitimasi. Diskusi soal lame duck session antara lain berisikan debat legitimacy versus legality. Para anggota parlemen dan kepala eksekutif yang masih duduk di jabatannya pada saat sudah terpilihnya para anggota baru sebenarnya memiliki legitimasi yang rendah karena terbukti para pemilih tidak memberikan kepercayaan lagi. Namun karena belum dilantiknya para anggota baru, kewenangan yang dimiliki para anggota parlemen tersebut masih melekat pada dirinya. Persoalan seperti ini harus dijawab bukan semata-mata secara yuridis formal tetapi juga perlu juga mengedepankan masalah etis. Apakah pantas persoalan penting dan memiliki kontroversi tinggi di masyarakat diputus oleh para pembentuk kebijakan yang memiliki problem legitimasi?

Persoalan berikut selain soal legitimasi adalah tingkat urgensi memaksakan putusan dalam waktu yang sangat terbatas. Persoalan yang memiliki kontroversi tinggi dan masyarakat masih terbelah dalam menyikapinya harus dibuktikan tingkat urgensinya mengapa harus diambil keputusan segera dalam waktu yang hanya hitungan hari menjelang duduknya anggota dewan yang baru. Apalagi saat ini anggota parlemen juga sudah bersepakat kemungkinan carry over dalam pembahasan legislasi yaitu RUU yang sudah memiliki porsi pembahasan cukup banyak akan dilanjutkan pembahasannya di DPR periode mendatang.
RUU KPK, RUU KUHP, RUU Sumber Daya Air (SDA), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), RUU MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) dan puluhan RUU yang sedang mengantri berburu waktu menunggu persetujuan nampaknya perlu juga dilihat dalam kerangka diskusi lame duck session ini. Persoalan legitimasi, tingkat urgensi, dan kontroversi materi RUU di masyarakat harus terjawab secara memadai. Perlu waktu yang lebih leluasa agar menemukan jawaban yang memuaskan. Memaksakan waktu singkat ini untuk memutuskan persoalan penting yang penuh kontroversi di tengah lemahnya legitimasi para pembentuk keputusannya tentu menimbulkan kecurigaan. Apalagi terbukti kemampuan legislasi pada tahun-tahun sebelumnya memang relatif rendah. Lalu mengapa mendadak berburu prestasi legislasi di masa sempit ini dengan berkorban substansi?

Ditulis oleh: Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., Kepala Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

Artikel ini telah diterbitkan di Koran Republika, 18 September 2019

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *