Revisi UU KPK: Kegagalan Presiden dan DPR dalam Memetakan Masalah

Logo KPK ditutupi kain hitam. Sumber gambar: nasional.okezone.com

Revisi UU KPK yang digulirkan oleh DPR belakangan telah memicu kekisruhan di masyarakat. Ditambah lagi Presiden, yang diharapkan oleh masyarakat memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi, justru secepat kilat memberikan respon dengan turut menyetujui dan memberikan beberapa catatan. Pekerjaan besar yang ditargetkan untuk selesai sebelum berakhirnya periode DPR RI 2014–2019 ini semakin memperlihatkan kegagalan DPR dan Presiden dalam memetakan masalah terkait upaya pemberantasan korupsi.

Pembentukan KPK pada masa reformasi merupakan suatu upaya luar biasa untuk menanggulangi kejahatan korupsi yang bersifat luar biasa pula, maka independensi kelembagaan merupakan suatu keharusan. Revisi UU KPK justru menghilangkan independensi tersebut dan seterusnya berdampak pada desain kelembagaan, seperti berkedudukan sebagai lembaga pemerintah, adanya dewan pengawas, perlunya konfirmasi atau izin lembaga lain dalam pelaksanaan kewenangan. Pendekatan kelembagaan yang dilakukan oleh DPR dan Presiden tersebut justru sangat kontraproduktif, bahkan dianggap sebagai pelemahan upaya pemberantasan korupsi.

Apabila pendekatan kelembagaan yang hendak ditempuh DPR dan Presiden, maka sepatutnya mekanisme checks and balances yang perlu dibangun bukanlah mekanisme pertanggungjawaban. Keberadaan lembaga pengawas mungkin diperlukan, namun sebatas pengawasan terhadap etika dan moral para komisioner dan aparatur di tubuh KPK, bukan pengawasan apalagi mekanisme konfirmasi terhadap pelaksanaan kewenangan pro justitia.

Padahal UU KPK telah mengatur mekanisme checks and balances tersebut. Secara kelembagaan KPK diharuskan menyampaikan laporan tahunan ke Presiden, DPR dan BPK. Secara hukum acara, pelaksanaan kewenangan KPK juga harus dalam koridor KUHAP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999) dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait. Lebih dari itu, berbagai UU telah mengatur tentang transparansi dan akuntabilitas publik lembaga negara sehingga ada partisipasi masyarakat dalam mengontrol KPK.

Selain itu, ketentuan mengenai pemberhentian Pimpinan KPK dalam Revisi UU KPK juga rawan politisasi dengan memasukkan klausula “melakukan perbuatan tercela”. Pengertian “perbuatan tercela” dalam Revisi UU KPK dapat dimaknai sebagai “pasal karet” yang memungkinkan digunakan untuk menjegal Pimpinan KPK secara politis. Hal ini tentu saja akan mengganggu kinerja KPK ke depan dikarenakan Pimpinan KPK terancam dipolitisasi dalam menjalankan jabatannya.

DPR dan Presiden sepatutnya membangun upaya pemberantasan korupsi dengan pendekatan mekanisme sehingga dapat melihat permasalahan secara lebih utuh, menyeluruh dan strategis. Revisi UU KPK bisa saja satu hal, namun lebih daripada itu harus melihat pula apa yang menjadi kelemahan dalam undang-undang lainnya seperti KUHP, UU Pemberantasan Korupsi, UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Pengadilan Tipikor, UU Kekuasaan Kehakiman dan lain sebagainya dalam upaya pemberantasan korupsi.

DPR juga harus mempertimbangkan ulang kehendaknya merevisi RUU KPK yang terkesan dipaksakan dan dinilai tidak transparan. Publik mencatat Revisi UU KPK tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2019, padahal UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur penyusunan suatu undang-undang berdasarkan pada Prolegnas. UU tersebut juga mengamanatkan keterlibatan lembaga negara dalam hal suatu RUU menyangkut lembaga negara tersebut. DPR juga harus memberikan ruang atas hak partisipasi masyarakat dalam tahap pembahasan, hal mana yang dianggap sulit oleh publik mengingat masa kerja DPR periode ini hanya tersisa kurang dari 30 hari.

Presiden seharusnya dapat membentuk kebijakan terkait dengan reformasi seluruh institusi penegak hukum. Beberapa konflik terbuka antara law enforcement agencies, sudah menjadi indikasi adanya ketidakberesan. Apalagi dengan ditambah dengan aksi terror terhadap beberapa penyidik KPK. Karenanya presiden perlu menjadi balancing power antara kedua institusi yang sedang bersaing ini dengan merevisi UU KPK, UU Kepolisian dan UU Kejaksaan agar terwujud penguatan institusional, sambil juga memperkuat sistem pengawasan lembaga penegak hukum melalui penguatan kewenangan Kompolnas dan Komjak, agar dapat menjatuhkan sanksi etik. Utamanya untuk “membersihkan sapu” sebelum digunakan untuk menyapu kotoran di lantai republik.

Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. Menolak Revisi UU KPK yang tidak menyelesaikan masalah-masalah penegakan hukum secara strategis. Karenanya, wacana Revisi UU KPK ini hendaklah dilaksanakan dengan tidak tergesa-gesa serta terlebih dahulu memperhatikan pemberantasan korupsi dalam skema yang luas dengan pemetaan masalah secara tepat.
  2. Menuntut DPR dan Presiden untuk membuka ruang partisipasi publik secara luas terhadap Revisi UU KPK dengan melibatkan KPK sebagai pemangku kepentingan utama.
  3. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk konsisten dengan janji kampanyenya dengan mendukung penguatan kelembagaan KPK dan menggunakan constitutional power-nya dengan tidak mengabaikan aspirasi rakyat yang didukung oleh kalangan akademisi.

Demikian rilis ini kami sampaikan sebagai bentuk sumbangsih intelektual demi terbentuknya sistem penegakan hukum dalam bidang pemberantasan korupsi yang lebih baik lagi. Semoga supremasi hukum tetap menjadi panglima di negeri ini.

Depok, 15 September 2019

Mustafa Fakhri
Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Narahubung:
Ali Abdillah (081298270287)
Manajer Riset PSHTN FHUI

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *