Jangan Ada Lagi UU “Sistem Kebut”

M. Novrizal Bahar, S.H., M.H., LL.M.

Terlepas dari persoalan substansi semua rancangan undang-undang (RUU) yang sedang dipermasalahkan dan memicu unjuk rasa, berbagai kerusuhan yang terjadi pekan lalu yang telah menelan banyak korban, baik dari pihak demonstran maupun dari pihak kepolisian, jelas merupakan reaksi keras atas kekecewaan masyarakat terhadap keinginan para legislator di DPR yang ingin mengesahkan begitu banyak undang-undang (UU) pada masa ”injury time” sebelum periode jabatan mereka berakhir pada akhir bulan ini.

Cara-cara pengesahan ”sistem kebut” dan terkesan diam-diam ini dinilai tidak wajar oleh banyak kalangan. Padahal, sebulan sebelum kehebohan ini dimulai, Hari Kemerdekaan Ke-74 Republik Indonesia yang diperingati oleh DPR bertemakan ”Keterbukaan Parlemen”. Ketergesa-gesaan ini telah membuktikan bahwa para anggota DPR periode ini tak bisa membuat perencanaan yang baik. Seharusnya, para legislator di DPR tidak perlu ngotot untuk menyelesaikan semua UU itu, khususnya yang sangat mengatur atau berakibat langsung pada hak dan kewajiban asasi rakyat seperti RUU tentang Perubahan UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Politisi di DPR tampaknya tidak menggunakan dengan baik waktu yang sesungguhnya tersedia sangat lega selama lima tahun masa jabatannya. Khususnya dua tahun terakhir, waktu mereka terlihat banyak habis digunakan untuk mempersiapkan diri agar terpilih kembali dalam Pemilihan Umum 2019. Tugas utama sebagai legislator seperti terabaikan. Terbukti, selama 2015-2019, realisasi penyelesaian Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas selalu di bawah 50% per tahun.

Seandainya tugas-tugas legislasi telah dapat diselesaikan satu tahun atau paling tidak enam bulan sebelum masa jabatan mereka berakhir, DPR sangat mungkin dapat melakukan kegiatan sosialisasi bagi semua RUU versi final dengan cara yang layak, sambil menerima tanggapan dari masyarakat luas, khususnya para mahasiswa sebagai generasi paling muda yang sudah mulai paham akan hak dan kewajiban politik mereka sebagai warga negara. Sosialisasi RUU yang mengatur hak dan kewajiban asasi rakyat memang butuh waktu dan energi yang besar, terutama karena Indonesia memang sebuah negara besar dengan jumlah penduduk tertinggi keempat di dunia. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi para pembuat UU.

Di banyak negara hukum yang sudah ”matang” implementasi demokrasinya, sebelum disahkan, rancangan ataupun perubahan konstitusi dan semua UU yang sangat berdampak langsung pada hak dan kewajiban asasi warga negara seringkali harus mendapat persetujuan rakyat secara langsung lewat referendum. Atau, persetujuan dengan suara bulat (unanimity) di parlemen, atau minimal dengan jumlah hasil pemungutan suara (votes) yang sangat tinggi, jauh di atas daripada yang dibutuhkan bagi UU yang ”biasa”. Namun, karena aturan yang demikian tidak ada dalam hukum Indonesia, pada saat versi final dari suatu RUU yang sangat berdampak pada hak dan kewajiban asasi rakyat telah selesai dibuat, maka sebagai penggantinya, sosialisasi yang masif dan intensif adalah suatu ke niscayaan! Memang betul RKUHP sudah lama sekali proses pembuatannya.

Memang benar sudah puluhan tahun dibahas di berbagai kalangan, khususnya para akademisi hukum pidana pada berbagai perguruan tinggi. Tapi, yang jadi pertanyaan, apakah versi finalnya sudah disosialisasikan secara baik? Di masa lalu, mungkin revisi UU KPK dan RKUHP itu sudah sering disosialisasikan. Tapi, setelah benar-benar selesai versi finalnya, akan muncul generasi yang lebih baru lagi yang juga butuh tahu isi dari dua UU tersebut sebelum diberlakukan. Itu hak mereka karena dua UU itu akan mengatur kehidupan mereka ke depan.

Tentang rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuat peraturan pemerintah peng ganti undang-undang (perppu) bagi revisi RUU KPK yang sudah disetujui bersama DPR, akibat gelombang desakan yang demikian besar, substansi yang terbaik saat ini adalah kembali saja dulu kepada UU KPK yang lama guna mengakhiri demonstrasi yang semakin tak terkontrol, serta agar tidak ada korban yang lebih banyak lagi. Bila masih ingin melakukan perubahan demi penguatan KPK, masih dapat di lakukan pada periode DPR yang baru. Toh, Jokowi masih jadi presiden hingga 2024.

Sebagai presiden dengan dukungan koalisi partai politik mayoritas di DPR, seyogianya Jokowi mampu untuk mem berikan pengaruh yang kuat dalam mengawal proses pembentukan UU, baik secara materiil maupun formil. Jangan terulang lagi model kerja legislasi dengan sistem kebut ini. Sangat penting untuk diingat bahwa dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pedoman Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diatur bahwa ”Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan”. Artinya, hak partisipasi publik ini wajib dipenuhi oleh para legislator, baik DPR maupun presiden.

Hal ini dikarenakan kerja ”penyadapan” adalah bersifat ”pro justitia” sehingga dengan demikian lembaga pemberi izinnya harus pula lembaga yang melakukan fungsi ”pro justitia”. Soal ada citra bahwa lembaga pengadilan di Indonesia saat ini masih memiliki tingkat kepercayaan yang rendah di mata publik, itu merupakan persoalan lain karena sesungguhnya setiap hakim di Indonesia diawasi secara etik oleh Komisi Yudisial (KY). Mungkin, khusus untuk pengawasan bagi kewenangan pemberian izin penyadapan ini, para legislator dapat memberikan misi khusus pada KY dengan membuat ketentuan dalam revisi UU KPK kelak ataupun revisi UU KY, yang khusus mengatur tentang pengawasan KY terhadap kewenangan pengadilan dalam pemberian izin penyadapan ini.

Selanjutnya, ayat (2) pasal tersebut menyatakan bahwa ”Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi .” Bila DPR tidak mematuhi ketentuan ke dua pasal tersebut, produk UU yang dihasilkan adalah cacat secara formil sehingga dapat dimohonkan pembatalannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bila kelak para legislator periode mendatang masih ingin agar kerja-kerja KPK dapat di lakukan secara lebih akuntabel dengan cara mengharuskan ada pemberian izin bagi proses ”penyadapan” terhadap para terduga korupsi, maka kewenangan untuk memberikan izin tersebut hendaknya di berikan kepada lembaga yudisial (pengadilan).

Hal ini dapat dilakukan atas pertimbangan bahwa korupsi adalah termasuk jenis kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sebagaimana alasan dibentuknya KPK sehingga pengawasannya pun harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa pula. Dengan demikian, bila DPR masih ingin membentuk lembaga pengawas internal bagi KPK demi menerapkan prinsip akuntabilitas, jangan diberikan kewenangan untuk memberikan izin bagi tindakan penyadapan. Yang benar adalah lembaga pengawas KPK hanya dapat melakukan pengawasan dari sisi etik pimpinan dan aparat pelaksananya sebagaimana yang berlaku bagi lembaga-lembaga negara lainnya, seperti keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR dan Majelis Kehormatan MK.

MOHAMMAD NOVRIZAL BAHAR, S.H.
, M.H., LL.M.

Pengajar pada Bidang Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tulisan telah dimuat pada koran-sindo.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *