PSHTN UI Nilai Perppu Corona Jokowi Berpotensi Langgar Konstitusi

Presiden Jokowi memimpin ratas melalui sambungan video di Istana Negara, Jakarta. Foto: Dok. Biro Pers Setpres

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 masih menuai sorotan. Isi dalam Perppu terkait penanganan virus corona itu dinilai bermasalah.

Sejumlah pihak pun sudah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait Perppu yang diterbitkan Presiden Jokowi ini. Di sisi lain, DPR sedang menggelar rapat paripurna penutupan masa sidang.Salah satu yang akan dibahas dalam rapat paripurna DPR ialah Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) menjadi Undang-Undang.Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (PSHTN FHUI) menilai Perppu tersebut memang berpotensi menimbulkan pelanggaran bila dijalankan. Beberapa pasal di dalamnya dinilai justru bertentangan dengan konstitusi.”Perppu ini ternyata juga menyimpan potensi pelanggaran yang dapat mengganggu praktik ketatanegaraan di Indonesia. Muatan yang dianggap berpotensi melanggar konstitusi RI ini terdapat pada Pasal 12, 27, dan 28,” kata Ketua PSHTN UI, Mustafa Fakhri, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (12/5).

Ia menyebut ada lima catatan terhadap Perppu terkait penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia itu. Judul lengkap Perppu itu ialah Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Pertama

Perppu berpotensi mengembalikan absolute power dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh Presiden. Pasal 12 dalam Perppu itu dinilai telah memberikan ruang kepada Presiden untuk dapat mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres.”Hal ini sama saja dengan menghilangkan proses check and balances, salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara,” ujar Mustafa.Menurut dia, kondisi tersebut tentu akan memberi celah kepada Presiden untuk dapat bertindak absolut dalam menentukan anggaran keuangan negara, tanpa adanya persetujuan dari rakyat melalui DPR.

“Padahal, salah satu gagasan besar dari tercetuskannya gerakan reformasi 22 tahun silam, adalah perlawanan terhadap absolutisme eksekutif,” imbuh dia.

Kedua

Subtansi Pasal 27 dalam Perppu itu dinilai menghilangkan unsur pengawasan DPR maupun lembaga lain. Penyimpangan yang mungkin dilakukan pejabat publik dalam hal penanggulangan COVID-19 jadi tidak bisa diusut atau dengan kata lain kebal hukum.”Pasal 27 dinilai memberikan imunitas atau kekebalan hukum kepada semua pihak yang disebutkan dalam Perppu No. 1 Tahun 2020, termasuk juga pengguna anggaran,” kata Mustafa.Bahkan, semua tindakan maupun keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN. Hal ini dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.Selain itu, dinilai juga termasuk pelanggaran terhadap prinsip rule of law, di mana equality before the law menjadi salah satu elemen penting di dalamnya.

Ketiga

Pasal 28 Perppu membuat keterlibatan DPR dalam pembuatan APBN menjadi tiada. Perubahan APBN 2020 menurut Perppu ini hanya diatur melalui Peraturan Presiden, yakni Perpres No. 54/2020.”Padahal, APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara, yang dengan kata lain ada partisipasi rakyat di dalamnya, yang diwakili oleh DPR,” ujar Mustafa.Selain itu, pembentukan APBN juga telah diatur secara tegas dalam Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3) UUD NRI Tahun 1945. “Dengan demikian, pasal ini secara tidak langsung telah meniadakan kehadiran rakyat sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini,” imbuh dia.

Keempat

Perppu dinilai memiliki pendekatan yang tidak mencirikan kebutuhan spesifik terkait dengan penanganan COVID-19 di Indonesia. Perppu tidak menggambarkan secara jelas bagaimana arah kebijakan untuk kesehatan masyarakat dalam menanggulangi pandemi ini.

Kelima

Tidak ada definisi yang jelas mengenai apa yang disebut dengan “Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)” atau pun “Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan” sebagaimana judul Perppu.Isi Perppu dinilai tidak memuat kriteria yang menentukan dua kondisi tersebut.”Ketiadaan pengertian tersebut akan berdampak pada kelonggaran para pelaksana kebijakan untuk menyatakan dalil instabilitas keuangan tanpa adanya tolok ukur. Dalam kondisi demikian maka pelaksanaan Perppu tersebut berpotensi besar untuk disalahgunakan,” ujar Mustafa.

Rekomendasi PSHTN UI

Berdasarkan catatan tersebut, PSHTN FHUI merekomendasikan beberapa hal.Pertama, perlu ada pemisahan konsep dari Perppu tersebut. Perppu dinilai bisa dipisah menjadi dua, yakni Perppu COVID-19 dan Perppu Stabilitas keuangan negara.Kedua, perlu ada pengaturan baru tentang Perppu COVID-19. Isinya yang memberikan penjelasan terkait dengan kebijakan kesehatan publik seperti pengaturan mengenai jaminan ketersediaan peralatan medis, farmasi, kebijakan kesehatan, serta kebijakan kesehatan masyarakat terkait COVID-19.Ketiga, DPR diminta menolak Perppu ini dalam Sidang Paripurna. Agar pemerintah dapat memperbaiki kembali substansi dari Perppu. Sehingga kebijakan terkait penyelamatan keuangan negara dan upaya menghadapi COVID-19 ini dapat lebih tertata dan tepat sasaran.Keempat, meminta Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pengujian Perppu 1/2020 yang saat ini masih berlangsung. Dengan demikian, Perppu tersebut tidak lagi memiliki daya ikat dan dinyatakan inkonstitusional.

Artikel ini dimuat pada kumparan.com.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *