Pembuktian, Masalah Krusial dalam Penyelesaian Sengketa Pilpres

Tampak depan gedung Mahkamah Konstitusi

Sejumlah pihak meminta pasangan capres-cawapres yang tidak menerima hasil pemilu menempuh upaya hukum melalui Mahkamah Konstitusi. Sebab, jalur inilah mekanisme konstitusional yang sejalan dengan hukum. Mahkamah Konstitusi pun sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari, termasuk memberikan pelatihan kepada para advokat dan perwakilan partai politik mengenai mekanisme penyelesaian sengketa hasil pemilu.

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitra Arsil, mengingatkan pentingnya dilakukan evaluasi penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Berkaitan dengan penyelesaian sengketa hasil pemilu, salah satu persoalan krusial yang akan dihadapi adalah pembuktian.

Siapa pihak yang mendalilkan, maka dialah yang harus membuktikan. Dalam konteks sengketa hasil Pilpres, beban pembuktian ada di pundak pemohon. Pemohon hanya diberi waktu 3 hari pasca penetapan oleh KPU untuk mengajukan permohonan sengketa, termasuk mengumpulkan bukti. “Bagi pemohon penyelesaian sengketa hasil pemilu, desain pembuktian hasil pemilu sebenarnya tidak memenuhi keadilan,” kata Fitra Arsil saat dihubungi hukumonline, Rabu (22/5). Menurut Fitra, beban pembuktian yang harus dipenuhi pemohon atas kesalahan hasil perolehan suara hampir mustahil. Perlu diketahui bahwa untuk membuktikan kesalahan perolehan suara akan mengacu pada alat bukti surat berupa berita acara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara yang ditandatangani penyelenggara Pemilu sesuai tingkatannya. “Pemohon harus bisa membuktikan dengan formulir C1 dengan tanda tangan basah, siapa yang bisa cover pembuktian itu untuk jutaan suara?,” ujarnya.

Menghadirkan bukti valid yang cukup atas selisih penghitungan dinilai Fitra sebagai hal mustahil pertama. Artinya, sangat sulit bagi pemohon untuk bisa menghadirkan bukti yang lengkap dalam menandingi data yang dimiliki penyelenggara pemilu. Apalagi waktu yang dimiliki pemohon relatif sangat singkat mengingat dugaan pelanggaran itu dapat terjadi di daerah yang tersebar jauh.

Hal mustahil kedua adalah membuktikan adanya kecurangan pemilu berupa tindakan terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak mudah mengukur tindakan macam apa yang signifikan sebagai kecurangan terstruktur, kecurangan sistematis, dan kecurangan masif. “Syaratnya harus terbukti signifikan, kalau ada kebijakan yang dianggap politisasi birokrasi, bagaimana mengukur itu signifikan terhadap perolehan suara?,” katanya lagi.

Hal lain yang dianggap Fitra mustahil adalah rentang waktu yang pendek untuk MK mengeluarkan putusan. Hanya tersedia 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Dengan desain pembuktian demikian, Fitra menganggap sangat sulit bagi majelis hakim MK benar-benar menghasilkan putusan yang memenuhi nilai keadilan. Secara formal, proses penyelesaian sengketa itu merujuk pada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; dan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 4 Tahun 2018 tentang Tata Cara Beracara dalam PHPU Presiden dan Wakil Presiden.

Fitra mengusulkan agar sistem penegakan hukum pemilu dievaluasi. Bahkan desain pemilu langsung yang tepat untuk negara sebesar Indonesia perlu ditinjau ulang. Ada ratusan juta hak suara yang selalu rentan menjadi objek sengketa. Perlu ada desain penyelesaian sengketa yang lebih menjanjikan keadilan. “Nilai keadilan harus dipenuhi. Jangan sampai akhirnya orang-orang apatis terhadap proses sengketa hasil pilpres di MK,” katanya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini memiliki pendapat berbeda. Ia menilai pada dasarnya desain sengketa hasil pemilu di MK sudah cukup baik. Tidak ada persoalan dari sisi mekanisme dan prosedur teknis penyelesaianan sengketa yang dilakukan oleh MK saat ini.

Mengenai rentang waktu yang tersedia untuk membuat putusan, Titi punya pandangan senada dengan Fitra. Pemilu serentak telah membuat potensi tumpukan perkara masuk ke MK akan sangat meningkat. Sementara para hakim harus berupaya memenuhi nilai keadilan pada semua perkara.  “Perkara yang masuk mungkin lebih besar dari pemilu sebelumnya, bebannya beruntun, runtutan waktunya berbarengan,” Titi menjelaskan kepada hukumonline.

Titi melihat ada tantangan besar yang akan dihadapi oleh MK termasuk soal kesehatan para hakim. “Perlu memperhatikan stamina dan kesehatan para hakim, pekerjaan maraton yang perlu konsentrasi pikiran, fisik, dan mental,” ujarnya.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti juga menilai bahwa desain penyelesaian sengketa hasil pemilu di MK sudah memadai. Ia justru menilai pihak yang merasa keberatan dengan penetapan perolehan suara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden harusnya benar-benar siap.

Apalagi berbagai desain pemilu dan penyelesaian sengketa yang ada adalah hasil kesepakatan partai-partai peserta pemilu saat membentuk undang-undang. “Harusnya infrastruktur mempersiapkan bukti sudah disiapkan sejak tanggal 17 April, bukti C1, bukti kecurangan, sebenarnya tidak mustahil,” kata Bivitri.

Sumber : hukumonline.com

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *