Rilis Berita Webinar Nasional HTN FHUI 2020: “Realisasi Penyelenggaraan Pemerintahan & Efektivitas Kabinet Jokowi Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19”

Keynote Speaker:
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H (Guru Besar Hukum Tata Negara FHUI)

Narasumber:

  • Dr. Fitra Arsil, S.H, M.H. (Pakar Hukum Tata Negara, Ketua Bidang Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
  • Dr. Dian Puji Simatupang, S.H., M.H. (Pakar Hukum Administrasi Keuangan Negara, Ketua Bidang Studi Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
  • Dr. Richo A. Wibowo, S.H., LL.M. (Pakar Hukum Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Procurement Law), Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
  • Maryati Abdullah, S.Si., M.E. (Pengamat Tata Kelola Kebijakan Publik, Envoy OGP (Open Government Partnrership)

Moderator:
Nur Widyastanti, S.H., M.H (Dosen Hukum Tata Negara, Peneliti Senior Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI)

Jumat, 10 Juli 2020, Bidang Studi Hukum Tata Negara (BSHTN) Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) menyelenggarakan Webinar Nasional dengan Tema “Realisasi Penyelenggaraan Pemerintahan & Efektivitas Kabinet Jokowi Dalam Menghadapi Pandemi Covid-19” pada hari Jumat, 10 Juli 2020, pukul 14.00-17.00 WIB, yang dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum UI, Dr. Edmon Makarim, S. Kom., S.H., LL.M.

Keynote Speaker: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Dalam webinar ini, Prof. Dr.  Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku pembicara kunci  menyampaikan, bahwa suatu rezim hukum harus terbagi atas rezim hukum normal dan rezim hukum tidak normal, sebab keadaan tidak normal dalam pengelolaan suatu negara memang ada dalam teori maupun praktek. Hukum normal hanya berlaku pada keadaan normal, sementara dalam keadaan tidak normal maka harus diberlakukan hukum tidak normal juga. Jika hukum normal diterapkan dalam kondisi tidak normal, maka akan mengakibatkan ketidakadilan yang merupakan prinsip penting dalam penerapan hukum.

Sambutan Dekan FHUI: Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.

Menurut Asshiddiqie, umumnya, konstitusi negara modern di dunia sudah membedakan keadaan normal dan tidak normal. Amerika Serikat (AS) misalnya, memang tidak punya pasal mengenai keadaan darurat dalam konstitusinya. Namun dalam prakteknya, ada constitutional convention akibat dari terjadinya kondisi darurat, baik karena bencana alam maupun karena alasan militer. Jika dilihat dari jumlahnya, AS sudah mendeklarasikan 61 kali kondisi darurat di negaranya, yang dimulai sejak National Emergency Law 1976.

Indonesia mempunyai pengaturan mengenai keadaan bahaya yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Namun, dilihat dari undang-undangnya, sampai saat ini hanya ada satu undang-undang yang mengatur mengenai keadaan darurat, yaitu UU Nomor 23 tahun 1959. Undang-undang ini menurut Asshiddiqie sudah sangat ketinggalan jaman, sehingga sangat diperlukan penggantian.

Indonesia mempunyai pengaturan mengenai keadaan bahaya yang secara eksplisit diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Namun, dilihat dari undang-undangnya, sampai saat ini hanya ada satu undang-undang yang mengatur mengenai keadaan darurat yaitu UU Nomor 23 tahun 1959. Undang-undang ini menurut Prof. Jimly sudah sangat ketinggalan zaman sehingga sangat diperlukan penggantian.

Sementara itu, dalam prakteknya, UU Penanggulangan Bencana tidak merujuk kepada pasal 12 UUD, demikian juga dengan Perppu No.1 Tahun 2020, yang sudah diundangkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Hal ini mengakibatkan semua kebijakan dalam keadaan khusus (pandemi) ini dipahami hanya dalam konteks hukum normal, bukan hukum tidak normal. Hal inilah yang menurutnya menjadi masalah, karena kondisi tidak normal ini harus disikapi dengan pembuatan hukum tidak normal agar keadilan masih tetap dapat ditegakkan.

Moderator Webinar: Nur Widyastanti

Setelah pembicara kunci, pembicara pertama, Dr. Fitra Arsil, S.H., M.H., juga menyoroti aspek Hukum Tata Negara dari tema webinar. Dalam presentasinya yang berjudul “Pilihan Darurat Pandemi oleh Pemerintah”, Arsil membagi pilihan kondisi darurat yang dapat dipilih oleh Pemerintah Indonesia atas tiga bentuk: 1). Darurat yang diatur di dalam konstitusi dimana UUD 1945 mengatur dalam Pasal 12 tentang keadaan bahaya; 2). Kegentingan memaksa yang diatur di dalam Pasal 22 UUD 1945; dan 3). Kedaruratan berdasarkan undang-undang. Berdasarkan hasil risetnya, dia mengemukakan perbandingan praktek kondisi darurat di Turki dan Tunisia yang memperlihatkan, bahwa sistem pemerintahan presidensil di Turki (yang sebelumnya sistem semi presidensial) justru mendukung percepatan penanganan kondisi darurat pandemi di negara tersebut karena kekuasaan yang sangat besar dari seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensial.

Narasumber kedua, Dr. Dian Puji Simatupang, S.H., M.H. menyampaikan pandangannya terkait pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam masa pandemi. Pengelolaan APBN di Indonesia, menurut Simatupang, termasuk pengelolaan keuangan negara yang rumit, rigid dan beresiko hukum, dimana kesalahan administrasi saja sudah dapat dikenakan sanksi pidana korupsi. Padahal, APBN mempunyai tujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan semata-mata prosedur administrasi. Yang terjadi saat ini, administrator di bawah Presiden sangat berhati-hati, karena kesalahan administrasi saja bisa dipidanakan. Maka menurutnya, lambatnya proses administrasi dalam masa pandemi yang dikeluhkan oleh Presiden ini menjadi wajar. Hal ini dikarenakan  belum ada payung hukum kondisi tidak normal sehingga proses administrasinyapun harus mengikuti prosedur normal. Dia memberi masukan, bahwa Presiden seharusnya dapat melakukan upaya-upaya yang bersifat extra-ordinary, yang dapat diawali dengan melakukan revisi terhadap Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2018, khususnya BAB VIII mengenai Pelaksanaan Anggaran dalam Penanggulangan Bencana.

Selanjutnya, pemateri ketiga, Dr. Richo Andi Wibowo, S.H., LL.M., Pakar Hukum Administrasi Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (Procurement Law) menyampaikan, bahwa terdapat masalah dalam hal pengadaan barang dan jasa, dimana orang dapat dipidana meskipun dengan bukti yang tidak kuat. Hal ini dipertegas dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) JAMDATUN No. 02/G/Gs.2/04/2020 tentang Pedoman Pendampingan hukum keperdataan pengadaan barang dan jasa dalam keadaan darurat. Menurut Wibowo, SE yang ingin memberikan penjelasan dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam kondisi darurat ini justru tidak memberikan pembeda dengan kondisi biasa. Bahkan, justru menimbulkan banyak masalah, seperti munculnya kekhawatiran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam mendapatkan penyedia barang dan jasa yang memberikan harga lebih mahal dari pasar karena dapat dianggap merugikan negara.

Pembicara terakhir, Maryati Abdullah menyoroti persoalan birokrasi dalam penanganan pandemi ini. Maryati menyoroti perlunya evaluasi dalam birokrasi di Indonesia, khususnya pasca reformasi birokrasi. Persoalan birokrasi di Indonesia, khususnya dalam hal korupsi, belum selesai sampai sekarang, meskipun dilihat dari Indeks Korupsi, Indonesia sudah menunjukkan perubahan menjadi lebih baik dibandingkan sebelum dibentuknya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal inilah yang menurut Maryati akan menjadi masalah juga pad kondisi pandemi yang tidak normal ini. Dalam keadaan normal saja, banyak persoalan birokrasi di Indonesia, apalagi dalam kondisi tidak normal. Maka, dibutuhkan kebijakan yang dapat mendukung penanganan pandemi dalam kondisi tidak normal.

Maryati mengakhiri pemaparannya, dengan memberikan contoh Kartu Prakerja. Pelaksanaan Kartu Prakerja di masa pandemi seharusnya tidak sama dengan kondisi biasa.  Dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik, agar Kartu Prakerja dapat direalisasikan dengan baik. Terakhir, menurut Maryati, kebijakan dalam kondisi darurat lebih cepat ditangkap oleh aktor ekonomi dibandingkan hukum dan sektor lain. Hal inilah yang menyebabkan misleading dalam penanganan pandemic, karena payung hukum belum tersedia, sementara sektor ekonomi membutuhkan dukungan legalitas dari perubahan kondisi yang ada.

Webinar yang dihadiri oleh 360 peserta ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan masukan dari para peserta mengenai hal-hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemerintah masa pandemi ini, baik dari sisi ketatanegaraan, keuangan negara, pengadaan barang dan jasa serta perspektif birokrasi.

Untuk materi dapat diunduh melalui laman https://s.id/MateriWebinarHTN2020

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *