
PANDANGAN majelis hakim yang menyidangkan perkara mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong terhadap sistem ekonomi yang dianut Indonesia merupakan pertimbangan tidak berdasar dan tak punya argumentasi yang solid. Hakim membenturkan antara sistem ekonomi Pancasila dan ekonomi kapitalis. Padahal para perumus konstitusi telah berdebat mengenai sistem ekonomi yang cocok dan pada akhirnya memberi ruang pada sistem dengan prinsip keindonesiaan.
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menghendaki adanya keseimbangan dalam semua aspek kehidupan bernegara. Keduanya pun mendorong keseimbangan antara kepentingan individu dan kolektif. Baik Pancasila maupun UUD 1945 juga berupaya menjaga keseimbangan dalam praktik persaingan yang menimbulkan efisiensi maupun kerja sama yang berujung pada rasa keadilan.
Sistem ekonomi kapitalis yang bercirikan adanya kompetisi dan efisiensi memang tak langsung kita temukan dalam UUD 1945. Begitu pula dengan rumusan sistem ekonomi Pancasila yang disebutkan majelis hakim kasus korupsi impor gula yang melibatkan Tom Lembong. Namun ruang konstitusionalitas sistem ekonomi kapitalis itu dapat dicermati pada Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 dalam prinsip efisiensi berkeadilan.
Sebagaimana pendapat Agus Brotosusilo dalam Politik Hukum Perekonomian Indonesia, konsep efisiensi berkeadilan itu mewakili prinsip kapitalis yang mengedepankan kepentingan individu dan kompetisi sebagai bagian dari mekanisme pasar bebas. Prinsip efisiensi itu diserap sebagai langkah para perumus konstitusi dalam menyesuaikan zaman.
Majelis hakim juga menggunakan frasa “terkesan lebih mengedepankan ekonomi kapitalis” dalam pertimbangan keadaan yang memberatkan Tom. Namun tak ada satu pun uraian dari hakim yang menjadi landasan dari kesan dan kecenderungan ekonomi kapitalis yang dianut Tom. Para hakim juga tak menyebutkan bagaimana model demokrasi ekonomi atau ekonomi Pancasila sebagai kontras terhadap sistem ekonomi kapitalis. Penjelasan atas prinsip sistem ekonomi itu penting karena akan menguraikan keyakinan hakim dalam memutus perkara ini.
Sistem ekonomi kapitalis juga mengakui hak individu. Amendemen UUD 1945 mencoba menyentuh peran pribadi ini dalam kegiatan ekonomi. Pasal 28H ayat 4 yang merupakan hasil dari perubahan kedua mengamanatkan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik itu tak boleh diambil sewenang-wenang oleh siapa pun. Kehadiran pasal itu menunjukkan ada ruang kebebasan individual, termasuk di bidang ekonomi.
Seperti halnya sistem ekonomi kapitalis, ekonomi Pancasila tak secara eksplisit ditulis dalam konstitusi sebagai model yang dianut di Indonesia. Beberapa penerapannya tertuang dalam sejumlah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, seperti Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
Namun guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Emil Salim, mengidentifikasi sistem ekonomi Pancasila sebagai kesetimbangan antara ekonomi pasar dan ekonomi komando. Dalil Emil Salim itu dibangun dari argumentasi bahwa sistem ekonomi negara berkembang bagai bandul yang bergerak ke sisi ekonomi pasar dan ekonomi komando pada sisi lainnya. Ekonomi Pancasila merupakan ekuilibrium dari dua sistem tersebut.
Pemilihan suatu sistem ekonomi tertentu sebagai pertimbangan hakim dapat menjadi yurisprudensi. Keputusan pejabat pemerintahan kelak bisa dipidana hanya karena tak sesuai dengan sistem ekonomi yang berlaku. Dengan logika hukum yang sama soal pemidanaan terhadap kecenderungan sistem ekonomi yang dianut, struktur kelembagaan badan usaha milik negara bisa menjadi obyek pemidanaan.
BUMN memiliki tiga jenis badan usaha, yakni perseroan, perseroan terbuka, dan perusahaan umum. Perseroan bertujuan mengejar keuntungan, perseroan terbuka mendagangkan saham di bursa, sedangkan perusahaan umum berupaya melayani barang atau jasa untuk publik sambil mengejar keuntungan. Prinsip perusahaan itu sangat jelas bercorak kapitalistik.
Penerapan sistem ekonomi kapitalis semestinya tak menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menimbang dan memutuskan suatu tindak pidana. Menggunakan model ekonomi sebagai pertimbangan hukum hanya akan berdampak pada keberanian pejabat publik dalam merumuskan dan mengambil keputusan ekonomi yang tepat di masa depan