Pakar: Baru Tahap Rencana, Jokowi Tidak Melanggar Tata Negara

Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Wapres Jusuf Kalla (kedua kanan) dan pejabat terkait (dari kiri) Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, memberikan keterangan pers terkait rencana pemindahan Ibu Kota Negara di Istana Negara, Jakarta, Senin (26/8/2019). Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan Timur. SP/Joanito De Saojoao.

Pakar hukum tata negara dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mohammad Novrizal Bahar menilai, pengumuman pemindahan ibu kota negara yang dilakukan Presiden Joko Widodo tidak bertentangan dengan proses ketatanegaraan. Sebab, secara hukum, kebijakan Pemerintah untuk pemindahan ibu kota negara baru pada tahap perencanaan.

“Semua publikasi yang sudah dilakukan oleh Presiden sampai saat ini adalah baru sampai tahap perencanaan, seperti hasil studi yang sudah lengkap yang berpuncak pada keputusan pemilihan lokasi,” ujar Novrizal di Jakarta, Selasa (27/8/2019).

Menurut dia, secara hukum, Pemerintah memang belum melakukan tahapan “action pembangunan” karena tetap membutuhkan undang-undang yang baru sebagai pengganti UU Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Novrizal juga menyinggung pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah yang menyesalkan langkah Presiden mengumumkan pemindahan ibu kota tanpa mengajak diskusi MPR dan DPR. Fahri menilai, diskusi itu diperlukan karena untuk melaksanakan kebijakan tersebut, ada sekitar delapan undang-undang yang harus diubah.

“Saya menyayangkan kurangnya ahli tata negara di sekitar Presiden Jokowi sehingga beliau tidak menjalankan suatu proses ketatanegaraan yang resmi dan lazim yang ada tahapannya,” kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senin (26/8/2019).

Cukup Ubah UU 29/2007
Menurut Novrizal, sebenarnya yang perlu segera diubah lebih dulu cukup UU 29 Tahun 2007.

“Bila ada ketentuan atau pasal dari suatu UU terkait (selain UU 29 Tahun 2007) yang hanya menyebut frasa Ibukota Negara, tidak perlu diubah. Bila ada UU yang menyebutkan DKI Jakarta dalam konteks sebagai ibu kota negara, maka hal ini bisa diatur dalam UU yang baru pengganti UU 29 tahun 2007, misalnya dengan menyebutkan bahwa semua kata DKI Jakarta diganti menjadi Ibukota Negara,” kata Novrizal.

Nantinya, tambah dia, bila memang dibutuhkan, dalam UU yang baru bisa juga dibuat aturan peralihan untuk semua UU terkait.

Bila ada UU dan peraturan pelaksanaannya yang menyebutkan bahwa lembaga negara atau lembaga pemerintah tertentu harus berkedudukan di ibu kota negara, maka dapat dibuat ketentuan peralihan. Ketentuan peralihan itu nantinya menyatakan bahwa pemindahan lokasi instansi tersebut dapat dilakukan secara bertahap dari ibu kota lama ke ibu kota baru dalam waktu tertentu hingga sarana dan prasarana yang dibutuhkan telah tersedia di ibu kota yang baru, agar instansi tersebut dapat melaksanakan tupoksinya dengan baik.

Yuliantino Situmorang / YS
Sumber: Suara Pembaruan

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *