AB Kusuma

Beliau jelas bukan orang yang cocok untuk ditampilkan dalam sebuah acara talk show yang riuh rendah di layar kaca. Dunianya adalah ruang perpustakaan yang sepi, membaca, meneliti dan menulis tentang hal-hal yang berkaitan dengan sejarah konstitusi dan tata-negara, khususnya arsip-arsip tentang penyusunan UUD 1945 dan dengan sendirinya menyangkut  Pancasila. Status resminya sebagai peneliti senior Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI mungkin saja telah berakhir karena usia, tetapi selama beliau masih sehat kegiatan itu pasti masih diteruskan. Ketekunannya dalam berkutat dengan arsip-arsip yang tercecer di berbagai tempat, tidak hanya di Indonesia, telah menghasilkan sebuah buku tebal berjudul: “Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan”. Buku yang berisi salinan dokumen-dokumen yang sangat penting bagi yang ingin mempelajari sejarah konstitusi negara ini terbit tahun 2004, tidak lama setelah reformasi dan berbagai usaha untuk mengamandemen konstitusi.

Pada tanggal 31 Mei 2006 di Kampus UI Depok diselenggarakan Simposium Peringatan Hari Lahir Pancasila “Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas”. Konon penggagas awalnya adalah Rahman Tolleng yang mengkhawatirkan apa yang dilihatnya sebagai crepping talibanism, merangseknya secara diam-diam ideologi yang berbasis agama di masyarakat. Membaca TOR simposium itu gagasan Rachman Tolleng memang tercermin di sana. Secara lebih umum kekhawatiran itu ditujukan pada merebaknya apa yang disebut sebagai politik identitas. Ada ketakutan agama sebagai ideologi akan menggeser Pancasila sebagai ideologi negara. Sebuah ketakutan yang seperti tidak akan pernah hilang dalam psikologi kita sebagai sebuah bangsa, juga pada hari-hari ini ketika seluruh perhatian seharusnya dikerahkan untuk mengatasi pandemi.

Dalam TOR simposium itu juga dikatakan bahwa rezim-rezim pemerintahan sebelumnya memang seperti tidak mempedulikan Pancasila, dan simposium itu bermaksud merestorasinya. Pada bulan Agustus 2006 prosiding simposium itu terbit sebagai buku. Dalam buku yang diawali oleh teks pidato SBY itu dimuat 20-an makalah para pembicaranya, antara lain Fuad Hassan, Goenawan Mohamad, Jakob Oetama, M. Dawam Rahardjo dan Robertus Robet. Sebuah maklumat, “Maklumat Keindonesiaan”, menjadi bagian akhir dari buku ini. Sebelum teks maklumat yang aslinya dibacakan oleh Todung Mulya Lubis di panggung didampingi seluruh pembawa makalah pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 2006 di Jakarta Convention Hall di hadapan presiden SBY itu, terdapat tulisan AB Kusuma, sekitar 15 halaman, yang berjudul: Catatan Seputar Simposium “Restorasi Pancasila”. Dalam catatan yang dibuat sebagai reaksi terhadap TOR dan pengelompokan makalah dalam sub-sub tema simposium, nampak ketelitiannya sebagai orang yang menekuni arsip dan dokumen seputar UUD 1945, Pancasila dan perkembangan sejarahnya. Catatan itu dimulai dengan kritiknya terhadap panitia yang banyak menggunakan istilah yang menurutnya  tidak jelas seperti decentering, empty signifier, signified tanpa signifier; juga penggunaaan kata “restorasi” yang dinilainya gegabah karena dari berbagai kamus kata restorasi digunakan untuk gedung bersejarah dengan demikian panitia seperti menempatkan Pancasila sebagai bangunan tua seperti candi yang mau roboh. Dalam catatan itu pandangan panitia yang melihat bahwa seolah-olah hanya Pancasila yang merupakan dasar negara dinilai sebagai keliru. Menurut pendapatnya, kelima sila dalam Pancasila itu hanya merupakan sebagian dari “Dasar Negara”, “Dasar Negara” yang lengkap menurutnya adalah “Pembukaan UUD 1945”. Dalam catatannya yang menurut saya juga sangat penting adalah ajakannya untuk melihat secara serius arsip dan dokumen perdebatan yang berlangsung di antara para pendiri bangsa ketika membicarakan isu pemisahan agama dengan negara. Membaca peringatannya kita disadarkan bahwa isu itu sungguh-sungguh telah dicari jalan keluarnya oleh para pendiri bangsa kita.

Pada tahun 2011 Yudi Latief menerbitkan buku tebal, 600-an halaman, berjudul “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Dalam pengantarnya Yudi Latief menyebut nama AB Kusuma sebagai yang pertama dari orang-orang yang telah memberikan masukan intelektual berharga. Ketika saya sampaikan apresiasi Yudi Latief itu terhadap dirinya, Pak Ananda hanya tersenyum, tanpa kata-kata. Membaca buku AB Kusuma memang kita menemukan dokumentasi arsip yang lengkap tentang sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Di sana kita bisa membaca stenografi teks-teks pidato para peserta sidang dan notulen perdebatan yang berlangsung dalam sidang-sidang itu. Saya membayangkan Yudi Latief sangat terbantu oleh buku AB Kusuma karena dari buku itu kita seperti dibawa ke dalam ruang-ruang sidang mendengarkan pidato Yamin, Supomo, Sukarno dan tokoh-tokoh lain; dan perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara mereka. Sesuatu yang tidak kalah pentingnya,  sebagai pembaca kita dapat merasakan perdebatan itu berlangsung dengan komitmen bersama untuk mendirikan sebuah negara – yang bernama Indonesia.

Pada tahun 2011 juga AB Kusuma menerbitkan kumpulan tulisannya yang semula terserak di berbagai media di samping komentar-komentarnya tentang berbagai isu seputar hukum dan konstitusi. Buku kumpulan tulisan itu diberi judul: Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” versus Sistem Presidensial “Orde Reformasi”. Dalam buku ini AB Kusuma menuliskan komentar dan kritiknya tentang berbagai isu yang berkaitan dengan tata-negara dan tata-kelola negara terutama semenjak terjadinya pergantian kekuasaan dari Orde-Baru ke Orde Reformasi. Membaca tulisan-tulisan itu kita menemukan sebuah konsistensi sikapnya dalam memandang berbagai perubahan yang terjadi dengan selalu mengacu pada apa yang dia sebut sebagai sistem pemerintahan “Pendiri Negara”. Penguasaannya tentang fasal-fasal dalam konstitusi beserta konteks yang menyertainya menjadi referensi untuk mengupas dan menilai apakah perubahan yang terjadi telah melenceng bahkan keliru jika dasar penilaiannya adalah apa yang menurut pendapatnya merupakan sesuatu yang telah digariskan oleh para pendiri negara ini.

Mungkin hampir sepuluh tahun saya tidak bertemu beliau. Ketika hari-hari ini sebagian dari kita bertengkar tentang Pancasila, tiba-tiba saya ingat tentang beliau. Pertengkaran dan perdebatan dalam zaman revolusi teknologi informasi ini, semakin terbuka di ruang-ruang publik, tidak seperti dulu di ruang-ruang sidang yang tertutup. Yang merisaukan, pertengkaran dan perdebatan yang kita saksikan hari-hari ini, rasanya jauh dari mencerahkan. Beberapa kali menyaksikan talk-show di stasiun-stasiun TV menimbulkan kerisauan itu. Ibarat busa atau buih yang segera menguap di udara; begitupun yang dihasilkan dari silat lidah, celoteh dan semburan kata-kata para demagog dengan wajah-karikatural mereka dalam tontonan yang riuh rendah mirip kabaret itu. Mungkin ada semacam katarsis disana karena seolah-olah hal-hal yang sensitif dan tabu telah diekspresikan secara terbuka dan katanya ditonton jutaan rakyat. Seolah-olah ada kebebasan dan demokrasi karena pendapat sering dikemukakan dengan panjang lebar, sebagian seperti mengutip sejarah, tidak jarang mengutip ayat-ayat dan kata-kata orang pandai; pembicaranya dipilih seperti wakil-wakil dari mereka yang sedang bertikai dalam satu panggung terbuka.

Menyaksikan talk show seperti itu, dalam keriuhan tontonan yang mungkin memang dibuat untuk menaikkan rating acara itu, jika ada yang tak hadir di sana, mungkin itu adalah “reason”. Karena “reason” tidak bisa ditampilkan dalam bentuk busa dan buih, dia harus mengendap dalam bentuk penalaran yang jernih dalam bentuk teks, tulisan. Kita punya banyak talk show tapi tidak punya, atau kalau pun ada, sangat sedikit, ruang diskusi yang menghadirkan teks, tulisan sebagai medium dari “reason”. Betapa sulitnya menerbitkan majalah “kebudayaan” di negeri ini. Barangkali persoalannya bukan pada persoalan dana, tapi lebih pada soal taraf apresiasi kita pada intelektualitas, pada “reason”. Kita lebih suka talk show daripada menuliskan pendapat dan pemikiran dan memperdebatkannya dalam ekspresi tekstual, tulisan. Mungkin kita terlanjur tersergap dengan keasyikan menulis keluh kesah kita di sosial media dan merasa telah mengekspresikan sebuah pendapat secara publik, dan itu sudah memuaskan ekspresi demokrasi kita.

Saya sudah lama tidak bertemu dengan AB Kusuma. Sudah pasti beliau semakin sepuh tapi saya mendoakan beliau tetap sehat. Jerih payahnya mendokumentasikan arsip-arsip sejarah konstitusi negara yang sesungguhnya tidak ternilai harganya itu, tidak terbayangkan akan ada yang bisa menggantikan. Beliau telah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya untuk menyatukan berbagai dokumen yang terserak dalam sebuah buku yang wajib dibaca jika kita ingin membicarakan hal-hal yang paling penting dari sebuah negara, landasan historis dan filosofisnya.

Oleh: Riwanto Tirtosudarmo*
*Peneliti. Karya tulisnya terbit dalam bentuk jurnal, buku dan tulisan populer. Tulisan-tulisan Dr. Riwanto Tirtosudarmo dapat dibaca di rubrik Akademia portal kajanglako.com
(Tulisan ini dimuat dalam http://kajanglako.com/id-11096-post-ab-kusuma—.html)

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *