Saatnya Meninjau Kembali Konstitusi Kita

Sudah 26 tahun berlalu sejak Reformasi 1998 yang diselimuti dengan krisis hebat dalam bidang ekonomi, sosial dan politik, melahirkan perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam kurun waktu 1999 hingga 2002, konstitusi Indonesia mengalami empat kali pengambilan keputusan perubahan. Hasil dari amendemen ini memberikan makna baru tentang bagaimana negara dikelola, memperjelas batasan kekuasaan pemerintah, memperkuat hak asasi manusia, dan memperkenalkan berbagai lembaga baru.

Namun, setelah 22 tahun berikutnya, pertanyaan yang terus muncul adalah: Apakah perubahan ini cukup untuk menjawab tantangan ketatanegaraan kita hari ini? Apakah Indonesia memerlukan amendemen lebih lanjut agar konstitusi kita tetap relevan dan responsif terhadap dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang berubah begitu cepat?

Perubahan Konstitusi

Menurut K.C. Wheare dalam bukunya Modern Constitution, terdapat empat cara dalam perubahan konstitusi. Pertama adalah Formal Amendment, sebuah cara yang menekankan pada perubahan  yang melalui proses resmi dan prosedur yang tertulis dalam konstitusi. Metode ini melibatkan perubahan eksplisit pada teks konstitusi melalui jalur legislatif atau referendum sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam konstitusi itu sendiri.

Kedua adalah Constitutional Convention, yang mengacu pada kebiasaan atau praktik yang diterima sebagai aturan konstitusional meskipun tidak tertulis dalam teks konstitusi. Konvensi ini biasanya berkembang dari praktik yang telah diterima oleh lembaga-lembaga pemerintahan selama periode waktu tertentu, dan meskipun tidak memiliki status hukum formal, kebiasaan-kebiasaan ini tetap berfungsi sebagai panduan utama dalam menjalankan pemerintahan. Contohnya adalah kebiasaan bahwa Perdana Menteri Inggris berasal dari partai mayoritas di Parlemen, meskipun tidak ada ketentuan dalam konstitusi tertulis yang mewajibkan hal ini.

Ketiga adalah Judicial Interpretation yang merupakan hasil penafsiran dari pengadilan seperti Mahkamah Konstitusi yang mampu memberikan tafsir konstitusi. Dalam hal ini, pengadilan dianggap mampu memberikan makna baru terhadap teks konstitusi tanpa mengubah teks itu sendiri. Putusan pengadilan dapat memberikan perubahan penting dalam penerapan hukum konstitusional, seperti yang sering terjadi dalam kasus Mahkamah Agung Amerika Serikat maupun Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

Adapun yang keempat adalah Some Primary Forces dimana perubahan dalam konstitusi terjadi akibat tekanan sosial, ekonomi, atau politik yang kuat. Meskipun tidak diatur secara formal, perubahan ini terjadi karena kekuatan-kekuatan mendasar dalam masyarakat yang menuntut perubahan dalam sistem pemerintahan, seperti revolusi atau perubahan sosial besar-besaran. Seperti yang terjadi pada tahun 1998 di Indonesia.

Pertanyaan-Pertanyaan Konstitutional

Seiring dengan berkembangnya praktik demokrasi dan politik selama 22 tahun pasca amendemen UUD 1945, lahir pula sejumlah pertanyaan terkait isu-isu konstitutional di Indonesia. Pertanyaan-pertanyaan ini lahir salah satunya disebabkan adanya ketidakjelasan yang dilahirkan dari konstruksi penyusunan UUD NRI 1945. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan konstitutional ini juga lahir disebabkan dinamika politik dan tatanegara yang semakin kompleks di Indonesia.

Sebagai contoh, persoalan terkait fungsi dan peran DPD sebagai kamar kedua dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia. Relasi kewenangan dan fungsi DPD dengan DPR sebenarnya masih ambigu dan belum menegaskan desain ideal kamar kedua di Indonesia. Selain itu, pertanyaan mengenai kewenangan Komisi Yudisial, sebagai penegak kehormatan Hakim juga belum secara fungsional menjawab keresahan terhadap kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian dilanjutkan dengan perkembangan isu kepemiluan terkait pemilihan kepala daerah, apakah dengan perkembangan demokrasi kita saat ini, pilkada memang bertransformasi menjadi bagian pemilu? Begitupun dengan pemilu serentak, yang dikaitkan dengan penguatan sistem presidensial.

Setelah amendemen UUD NRI 1945, muncul banyak tanda tanya baru. Pertanyaan-pertanyaan ini bukan hanya berasal dari ketidakjelasan teks yang memicu ambiguitas interpretasi, tetapi juga dipicu oleh pesatnya perkembangan ketatanegaraan Indonesia.

Judicial Interpretation

Dalam kebingungan mengenai bagaimana penerapan filosofis dan praksis dari norma-norma dalam konstitusi, Mahkamah Konstitusi memainkan peran sebagai penafsir konstitusi melalui judicial interpretation. Melalui mekanisme pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi kemudian diminta untuk menjadi the final interpretation of The Constitution terhadap penerapan pasal-pasal dalam undang-undang. Dalam perkembangannya, praktik ini bukan saja melahirkan penjelasan penjelasan terhadap konstitusi tetapi juga melahirkan model perubahan non-formal amendemen konstitusi.

Perubahan non-formal amendemen konstitusi di Indonesia dijalankan melalui mekanisme penafsiran yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Penafsiran yudisial ini memungkinkan konstitusi untuk diubah maknanya tanpa harus secara langsung mengubah teksnya. Dalam banyak kasus, interpretasi MK memberikan pemahaman baru atau memperluas makna pasal-pasal konstitusi yang ada, sehingga menciptakan perubahan de facto dalam cara aturan tersebut diterapkan, meskipun teks konstitusi secara formal tidak mengalami perubahan.

Sebagai contoh, melalui putusan terkait kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam mengawasi hakim, MK menafsirkan bahwa hakim konstitusi tidak berada di bawah pengawasan KY, meskipun konstitusi secara umum memberikan kewenangan kepada KY untuk mengawasi hakim. Penafsiran MK dalam kasus ini menunjukkan betapa kekuasaan yudisial dapat mempengaruhi implementasi konstitusi, menciptakan amendemen non-formal yang signifikan.

Demikian pula, putusan-putusan terkait pemilihan umum serentak memperlihatkan bagaimana MK dapat merumuskan kembali mekanisme politik tanpa harus merubah teks konstitusi. Keputusan MK bahwa pemilu presiden dan pemilu legislatif harus dilaksanakan secara serentak merupakan salah satu contoh bagaimana putusan yudisial dapat menciptakan reformasi besar dalam sistem pemilu, meskipun aturan dalam UUD 1945 terkait pemilu tidak mengalami perubahan teks formal.

Proses perubahan non-formal ini memberikan fleksibilitas bagi konstitusi Indonesia untuk beradaptasi dengan perkembangan politik, sosial, dan ekonomi. Di satu sisi, interpretasi yudisial memungkinkan konstitusi untuk tetap relevan dengan tantangan zaman tanpa melalui proses yang memakan waktu seperti amendemen formal melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Di sisi lain, model perubahan ini juga dapat menimbulkan kontroversi karena keputusan yang dibuat oleh MK tidak selalu mencerminkan kesepakatan legislatif atau eksekutif, dan penafsiran baru bisa memicu perdebatan mengenai apakah suatu aturan seharusnya diubah melalui amendemen formal.

Dalam beberapa kasus, penafsiran MK terhadap konstitusi bahkan dianggap lebih jauh dari apa yang diinginkan oleh pembuat undang-undang, yang menyebabkan perdebatan apakah putusan-putusan ini perlu dikonfirmasi melalui amendemen formal. Bagaimanapun, perubahan non-formal melalui judicial interpretation memberikan dimensi yang dinamis bagi konstitusi Indonesia, di mana makna hukum dapat diperluas atau dipersempit sesuai kebutuhan zaman tanpa melalui prosedur formal yang kaku.

Peninjauan Reguler

Banyak isu-isu tata negara yang perlu untuk ditegaskan kembali dalam konstitusi kita. Setelah 22 tahun berlalu pasca amendemen terakhir tahun 2002, sudah kiranya bangsa Indonesia melakukan perbaikan kembali terhadap UUD NRI 1945. Bahkan isu-isu yang selama ini membutuhkan penafsiran dari MK sudah seharusnya dikonfirmasi ulang melalui amendemen formal dalam forum legislatif yang tepat.

Tidak perlu menunggu adanya “some primary forces” seperti revolusi, dan krisis-krisis lainnya untuk mengantarkan kita pada perbaikan terhadap konstitusi kita. Dalam hal ini beberapa isu yang masih menjadi persoalan mengenai penguatan sistem presidensial, kepartaian, pemilu dan pilkada mungkin bisa menjadi beberapa agenda dalam perubahan konstitusi kedepan.

Sebagai contoh di Afrika Selatan, peninjauan reguler terhadap konstitusi diatur sebagai bagian dari upaya menjaga agar konstitusi tetap relevan dengan perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Konstitusi Afrika Selatan 1996 menetapkan mekanisme peninjauan konstitusi secara berkala melalui Komite Peninjauan Konstitusi (Constitutional Review Committee). Komite ini memiliki tugas utama untuk meninjau pelaksanaan konstitusi setiap lima tahun, memastikan bahwa ketentuan-ketentuan dalam konstitusi tetap relevan dan berfungsi sesuai dengan tujuan dasarnya.

Meskipun tinjauan ini tidak selalu menghasilkan amendemen konstitusi, mekanisme tersebut memberi peluang untuk mengevaluasi efektivitas konstitusi dan melakukan penyesuaian jika diperlukan. Tujuan dari peninjauan ini adalah untuk menjaga agar konstitusi tetap dinamis dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan stabilitas dan integritasnya sebagai dokumen hukum yang mendasari pemerintahan dan negara.

Saatnya Bertindak

Indonesia tidak perlu menunggu krisis besar untuk memperbarui konstitusi. Justru, perubahan yang dilakukan dengan terencana, sistematis, dan proaktif mampu mencegah berbagai krisis yang mungkin timbul di masa depan. Amendemen konstitusi bukan sekadar alat untuk memperbaiki kesalahan, melainkan mekanisme untuk menyesuaikan konstitusi dengan dinamika zaman. Stabilitas dan fleksibilitas adalah dua pilar penting yang harus dijaga. Sebuah konstitusi yang terlalu kaku berisiko menjadi hambatan bagi kemajuan bangsa, sementara yang terlalu mudah diubah bisa mengancam fondasi demokrasi.

Kini saatnya kita memandang amendemen sebagai cara untuk memperkuat demokrasi, memperkokoh supremasi hukum, dan menciptakan landasan yang lebih stabil bagi masa depan Indonesia. Dengan pendekatan yang cermat dan melibatkan evaluasi berkala, kita dapat memastikan konstitusi tetap relevan tanpa melupakan nilai-nilai dasar yang menjadi pilar kebangsaan. Melalui mekanisme evaluasi reguler, konstitusi akan terus berkembang bersama dengan rakyat dan bangsa, siap menghadapi tantangan di masa depan sambil mempertahankan prinsip-prinsip dasar yang telah lama menopang Indonesia.

Masa depan bangsa kita tidak hanya ditentukan oleh perubahan besar, tetapi juga oleh kemampuan kita untuk terus meninjau dan memperbaiki fondasi hukum yang kita miliki. Amendemen yang terencana adalah langkah untuk memastikan bahwa UUD 1945 tetap menjadi pilar utama ketatanegaraan kita—kokoh, relevan, dan tangguh menghadapi perubahan zaman.

Dr. Qurrata Ayuni
Pengajar Hukum Tata Negara FHUI