Negara Bukan Pemilik Tanah

Negara diwajibkan mengatur pemilikan tanah dan penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk kemakmuran rakyat.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN Nusron Wahid menyatakan bahwa yang memiliki tanah itu adalah negara dan bahwa orang itu hanya menguasai. Pernyataan tersebut menunjukkan miskonsepsi pada sistem pertanahan di Indonesia. Konstitusi dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) justru menyatakan bahwa negara adalah penguasa dan orang dapat menjadi pemilik tanah, sebagaimana diatur melalui UUPA dan peraturan pertanahan lainnya.

Hak menguasai negara

Ditegaskan pada penjelasan UUPA, perkataan ”dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti ”dimiliki”, tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia, pada tingkatan yang tertinggi. Negara diwajibkan untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong.

Lebih lanjut, hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat. Terdapat setidaknya dasar-dasar hukum agraria. Pertama, dasar kenasionalan. Kedua, asas domein bertentangan dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia yang menempatkan negara bertindak sebagai pemilik tanah. Ketiga, ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum. Keempat, semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Kelima, asas kebangsaan. Keenam, perlindungan sesama warga negara.

Ketujuh, landreform atau tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Ketujuh, perencanaan nasional (national planning) dan perencanaan wilayah/daerah (regional planning).

Lebih jauh, lewat pernyataan, ”Nenek moyangmu tidak bisa membuat tanah”, Nusron Wahid justru menegasikan apa yang diakui oleh Konstitusi, yaitu adanya pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat atau hak ulayat. Rupanya pemerintah memang masih menerapkan asas Domein Verklaring  yang menempatkan tanah dan rakyat sebagai milik negara. Padahal, secara tegas hal tersebut sudah dihapus, baik dalam konstitusi maupun UUPA.

Kasus Rempang adalah potret bukti di mana hak ulayat tidak memiliki tempat di mata pemerintah. Relokasi dilakukan pemerintah karena warga tidak memiliki sertifikat tanah. Pada tahun 2024 saja, terjadi perampasan wilayah adat hingga mencapai 2,8 juta hektar, dan selalu disertai dengan tindakan kriminalisasi dan kekerasan.

Sementara itu, Aliansi Masyarakat Hukum Adat Nusantara (AMAN) mencatat bahwa dalam sepuluh tahun terakhir terdapat 687 konflik agraria di wilayah adat seluas 11,07 juta hektar di Indonesia. Konflik agraria ini mengakibatkan lebih dari 925 warga masyarakat adat dikriminalisasi, 60 orang di antaranya mendapatkan tindakan kekerasan dari aparat negara, dan 1 orang meninggal.

Sementara itu, peraturan perundang-undangan semakin jauh dari apa yang digariskan oleh hukum agraria. Undang-undang (UU), seperti UU Cipta Kerja, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU tentang Ibu Kota Negara, UU Mineral dan Batubara, UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan deretan kebijakan operasional di berbagai sektor, menurut AMAN, adalah hasil dari semangat ”penyangkalan” terhadap eksistensi masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya.

Deretan UU itu sekaligus mencerminkan kegagalan pemerintahan dalam memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat. Pada sisi lain, RUU Masyarakat Hukum Adat (MHA), yang diharapkan melindungi MHA termasuk hak atas tanah, sudah lebih dari lima belas tahun tidak ada pergerakan yang signifikan. Negara sebagai penguasa seharusnya hadir dengan mendorong legislasi yang mengatur hak ulayat agar dapat memastikan hak-hak warga negara terpenuhi.

Negara seharusnya tidak lagi berpikir sebagai aktor pemilik tanah, tetapi sebagai penguasa tanah, di antaranya negara perlu memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak masyarakat adat. Sebab, praktik pembangunan, setidaknya sepuluh tahun ini, mengabaikan hak atas wilayah adat, tanah, hutan, dan sumber daya alam masyarakat adat.

Pada akhirnya, sebagai penguasa tanah, negara juga perlu memastikan kasus-kasus mafia tanah, seperti penggandaan sertifikat hak milik dan kasus dominasi ekstrem di mana 46 persen (30 juta hektar) lahan dikuasai oleh 60 keluarga besar pemilik korporasi, tidak terjadi lagi. Hal ini sesuai dengan amanat Konstitusi, yaitu penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Rico Novianto, Peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI

Sumber: https://www.kompas.id/artikel/negara-bukan-pemilik-tanah

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *