
Pengabaian terhadap kritik merupakan abusive constitutionalism. Hukum dipakai oleh institusi negara untuk melemahkan demokrasi.
DEMONSTRASI merebak di berbagai kota di Indonesia sebagai ekspresi kemarahan publik atas perilaku elite politik yang mengelola negara secara sembrono. Aksi unjuk rasa telah menyebabkan pengemudi ojek online di Jakarta, Affan Kurniawan, tewas dan ratusan korban terluka.
Aksi unjuk rasa itu merupakan bentuk kedaulatan rakyat. Ia dijamin Undang -Undang Dasar 1945. Konstitusi memastikan hak warga negara terhadap aktivitas berkumpul, berkelompok, menyatakan pendapat, hak atas rasa aman, serta penghormatan dan pelindungan atas hak asasi manusia. Namun realitas politik dan tindakan aparat menunjukkan adanya jurang antara teks konstitusi dan praktik bernegara.
Perwakilan Rakyat dan Abusive Constitutionalism
Makna kedaulatan rakyat adalah keberadaan lembaga perwakilan rakyat. Lembaga legislative secara konstitusional memiliki peran membentuk undang-undang, mengawasi pemerintahan, menetapkan anggaran negara, dan fungsi representasi. Dewan Perwakilan Rakyat semestinya hadir sebagai kanal aspirasi rakyat, menjaga produk legislasi, dan mencegah kebijakan pemerintah yang merugikan hak publik.
Namun kita menyaksikan perilaku DPR yang jauh dari tugas konstitusionalnya itu. Wakil rakyat lebih loyal terhadap kepentingan elite ketimbang rakyat yang menjadi konstituennya. Dalam pembuatan undang-undang tak kalah bobroknya. Mereka membuat sejumlah undang-undang tanpa partisipasi bermakna. Puncaknya, mereka mendapat kenaikan tunjangan ketika perekonomian sedang lesu.
Ironisnya, ketika rakyat mengkritik pemerintah dan DPR, mereka menunjukkan gestur tak simpatik. Padahal salah satu mandat mereka adalah mendengarkan aspirasi konstituen. Martha Finnemore dan Michele Jurkovich dalam The Politics of Aspiration mengingatkan bahwa aspirasi yang tersumbat bisa memicu konflik sosial. Persis itulah yang terjadi dalam rangkaian demonstrasi pada pekan terakhir Agustus 2025.
Pengabaian terhadap kritik dan aspirasi yang dilakukan para anggota DPR dan pemerintah dikhawatirkan menuju kondisi yang digambarkan David Landau sebagai abusive constitutionalism. Ini merupakan kondisi ketika konstitusi atau hukum dipakai oleh institusi negara untuk melemahkan demokrasi.
Ciri-ciri penyalahgunaan wewenang terhadap konstitusi adalah pemerintah menggunakan hukum untuk melemahkan mekanisme pengawasan, membatasi hak sipil dan politik, serta menciptakan ilusi demokrasi yang berada di bawah pemerintahan otoritarian. Selain itu, pemerintah membatasi kebebasan berekspresi atau memakai pendekatan represif dalam menangani kelompok kritis.
Jalan Keluar Konstitusional
Demokrasi yang meluas di berbagai kota mesti direspons pemerintahan Prabowo Subianto dengan langkah konstitusional. David Landau sudah mewanti-wanti pemerintahan otokratik sejumlah negara, seperti Hungaria, Polandia, dan beberapa negara Amerika Selatan, tak menular ke negara lain.
Pemerintah Indonesia tak boleh mengulang hal yang dilakukan pemerintah Argentina dan Brasil. Di Argentina, puluhan demonstran ditangkap karena memprotes kebijakan ekonomi baru. Sedangkan di Brasil, gelombang unjuk rasa yang memprotes pemerintahan dan Mahkamah Agung dihadapi dengan aksi represif sehingga menimbulkan korban.
Kondisi ini merupakan titik balik bagi institusi-institusi negara untuk memperbaiki hubungan dengan pemilik kedaulatan serta mempraktikkan substantive constitutionalism yang berlandaskan kedaulatan dan hak konstitusional rakyat. DPR harus membuka ruang seluas-luasnya untuk menerima aspirasi dan partisipasi masyarakat, khususnya dalam praktik legislasi. Lembaga legislative jangan hanya menjadi stempel yang melancarkan kemauan pemerintah, tapi juga menjalankan checks and balances.
DPR dan pemerintah mesti berubah serta berbenah dalam merespons aspirasi rakyat jika tak mau melihat kemarahan publik yang lebih luas.
Sumber: https://www.tempo.co/kolom/penyalahgunaan-konstitusi-krisis-demokrasi-2065260