
Setiap kali pascapemilu maupun memasuki tahun politik, isu revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik selalu menyeruak ke permukaan. Namun publik sudah mafhum, alih-alih menjadi ruang pembahasan serius untuk memperkuat demokrasi, proses legislasi di DPR lebih sering berakhir sebagai arena tarik-menarik kepentingan antarpartai. Produk hukum yang lahir pun kerap tambal sulam, penuh kompromi sesaat, dan jauh dari orientasi jangka panjang.
Kita dapat menengok bagaimana pembahasan RUU Pemilu terakhir pada 2021 berakhir buntu. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusan menegaskan perlunya perombakan serius atas hukum pemilu. Misalnya, mengenai desain pemilu serentak atau kebutuhan pengadilan khusus untuk pilkada (pada saat itu). Namun, DPR justru memilih jalan status quo dengan membatalkan revisi UU Pemilu, ketimbang menjalankan fungsi legislasi melalui pembahasan RUU Pemilu. Langkah itu kemudian diikuti langkah Presiden menerbitkan Perpu Pemilu pada 2022. Fenomena inilah yang oleh sejumlah pakar disebut sebagai kelambanan atau bahkan keengganan legislatif menjalankan kewajiban menata hukum pemilu secara responsif dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Hal yang sama terjadi pada pembentukan Undang-Undang Partai Politik. Revisi yang dilakukan selama ini lebih banyak diarahkan untuk mengukuhkan kepentingan elite partai ketimbang memperbaiki kelemahan mendasar, seperti demokrasi internal yang tidak berjalan, mekanisme kaderisasi yang mandek, dan absennya pertanggungjawaban publik. Padahal tanpa partai politik yang sehat, mustahil kita bisa berharap pada demokrasi yang berkualitas dan berdaya tahan.
Kebuntuan legislasi
Indonesia sebenarnya tidak sendirian menghadapi problem legislasi politik semacam ini. Sejumlah negara pernah mengalami kebuntuan serupa, tetapi mereka berhasil keluar dengan membentuk panel ahli independen untuk menyiapkan rancangan undang-undang. Kanada melalui Royal Commission on Electoral Reform and Party Financing (Lortie Commission) pada akhir 1980-an adalah contoh yang sering dijadikan rujukan. Komisi ini menghasilkan laporan komprehensif mengenai sistem pemilu, pembiayaan partai, dan reformasi politik yang masih dijadikan pegangan hingga hari ini.
Selandia Baru juga pernah membentuk Royal Commission on the Electoral System pada 1985-1986. Komisi itu kemudian merekomendasikan sistem Mixed Member Proportional (MMP) atau sistem pemilu campuran, yang diterima dan terbukti membawa stabilitas serta proporsionalitas dalam ekosistem politik Selandia Baru. Pelajaran dari dua negara tersebut sederhana, ketika parlemen sulit menghasilkan kesepakatan karena kepentingan politik jangka pendek, panel ahli independen bisa menjadi ruang hening yang menyiapkan naskah akademik dan rancangan undang-undang secara jernih dan berpihak pada publik.
Mengapa Indonesia membutuhkan panel ahli independen dalam perumusan RUU Partai Politik dan RUU Pemilu? Ada beberapa alasan mendesak. Pertama, panel ini akan mengurangi konflik kepentingan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota DPR memiliki kepentingan langsung terhadap hasil perumusan kedua undang-undang tersebut. Sangat sulit berharap mereka dengan sukarela memangkas privilese partai atau mengurangi aturan yang selama ini menguntungkan posisinya. Panel ahli dapat berfungsi sebagai penyangga agar proses perumusan tidak sepenuhnya didikte oleh kepentingan partisan.
Kedua, panel ahli akan menghadirkan basis ilmiah dan pengalaman komparatif yang komprehensif. Hal itu dilatarbelakangi pertimbangan bahwa regulasi partai politik dan sistem kepemiluan sebaiknya dibangun di atas riset akademik dan sebisa mungkin merujuk pada pembelajaran baik lintas negara, bukan sekadar kompromi dari sekelompok kecil elite. Panel yang terdiri dari akademisi, praktisi penyelenggara pemilu, dan perwakilan masyarakat sipil dapat memastikan rancangan undang-undang disusun dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi serta pengalaman terbaik dari negara-negara lain yang tetap akan dikontekstualisasi sesuai kondisi khas di Indonesia.
Ketiga, panel ahli dapat memperkuat legitimasi publik. Salah satu masalah serius dalam politik Indonesia adalah rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan proses legislasi. Dengan melibatkan masyarakat sipil, organisasi pemantau pemilu, akademisi, dan kelompok rentan dalam proses konsultasi panel, rancangan undang-undang yang dihasilkan akan lebih legitimate dan memiliki dukungan publik yang lebih luas.
Keempat, panel ahli akan memastikan konsistensi dan stabilitas hukum pemilu. Venice Commission melalui Code of Good Practice in Electoral Matters menekankan pentingnya stabilitas aturan pemilu setidaknya dua tahun sebelum pemilu digelar. Indonesia justru sering mengubah aturan di menit-menit terakhir menjelang pemilu, yang hanya menambah kerumitan teknis dan ketidakpastian hukum. Panel ahli dapat memastikan rancangan regulasi memiliki horizon jangka panjang, bukan sekadar pragmatis lima tahunan.
Desain Panel
Lantas seperti apa desain panel ahli yang ideal? Panel ini sebaiknya beranggotakan para pakar multidisipliner, mulai dari hukum tata negara, ilmu politik, sosiologi politik, hingga ekonomi politik dan praktisi pemilu, serta ahli teknologi. Mereka diberi mandat jelas untuk menyusun naskah akademik, rancangan undang-undang, dan melaksanakan konsultasi publik nasional. Hasil kerjanya kemudian menjadi rancangan awal yang wajib dijadikan dasar pembahasan DPR.
Dengan demikian, fungsi legislasi tetap berada di tangan DPR bersama Presiden, tetapi titik berangkatnya lebih berbasis riset dan partisipasi publik, bukan semata kepentingan elite. Panel ini juga harus membuka ruang deliberasi seluas-luasnya dengan kelompok masyarakat sipil, organisasi profesi, ormas, bahkan perwakilan daerah. Proses ini akan memperkuat legitimasi, sekaligus memastikan rancangan undang-undang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.
Tentu akan ada kritik bahwa pembentukan panel ahli bertentangan dengan prinsip “otoritas” DPR sebagai pembuat undang-undang. Namun praktik di Kanada dan Selandia Baru menunjukkan sebaliknya. Panel ahli bukan pengganti DPR ataupun pembentuk undang-undang, melainkan mitra kerja yang menyediakan rancangan berbasis kajian dan konsultasi publik.
Apalagi, dalam suatu praktik demokrasi konstitusional dibutuhkan kombinasi yang sinergis antara expertise dan political legitimacy. Panel ahli memberi keahlian dan basis ilmiah, sementara DPR memberikan legitimasi politik. Kombinasi keduanya justru memperkuat, bukan melemahkan, demokrasi.
Saat ini, Indonesia berada pada momentum penting. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, seperti Putusan MK No. 85/PUU-XX/2022 terkait penegasan bahwa pilkada adalah pemilu serta Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah, telah membuka ruang luas untuk pembaruan regulasi. Namun, tanpa mekanisme reformasi yang lebih independen, revisi undang-undang pemilu dan partai politik sangat mungkin kembali tersandera oleh kepentingan jangka pendek.
Karena itu, pembentukan Panel Ahli Independen menjadi semakin besar urgensinya. Panel ini akan memastikan bahwa RUU Partai Politik dan RUU Pemilu bukan sekadar produk kompromi elite, melainkan instrumen hukum yang menjawab kebutuhan konsolidasi demokrasi Indonesia. Sebab, demokrasi kita membutuhkan fondasi hukum yang kokoh, transparan, dan akuntabel. Sudah saatnya kita keluar dari siklus legislasi transaksional menuju proses yang lebih ilmiah, partisipatif, dan berorientasi publik.
Legislasi prioritas
RUU Pemilu adalah legislasi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2025. DPR merupakan pihak yang menjadi pengusul RUU Pemilu dalam Prolegnas 2025 tersebut. Sayangnya, sampai dengan saat ini, sudah masuk ke bulan September 2025, belum tampak hilal kemajuan penyusunan naskah akademik maupun draf RUU dari DPR. Oleh karena itu, Panel Ahli Independen untuk perumusan RUU Partai Politik dan RUU Pemilu menjadi pilihan kebijakan yang semakin relevan dan layak untuk ditempuh.
Dengan panel semacam itu, kita bukan hanya memperbaiki kualitas regulasi, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik bahwa undang-undang yang mengatur partai politik dan pemilu benar-benar disusun demi rakyat, bukan demi elite. Dan saat ini adalah momentum bagi Indonesia untuk melangkah ke arah demokrasi yang lebih matang, berintegritas, dan berkeadilan.
Di tengah dahaga publik akan lahirnya legislator dan pejabat publik yang kredibel dan berintegritas, sungguh tidak ada alasan untuk menolak gagasan pembentukan Panel Ahli Independen untuk merumuskan RUU Pemilu tersebut. Mari kita suarakan bersama.
Sumber:https://www.hukumonline.com/berita/a/pembentukan-panel-ahli-independen-dalam-perumusan-ruu-pemilu-parpol-lt68d0ca12d8c82/