Keteladanan dan Hilangnya Budaya Mundur

Sejarah ketatanegaraan Indonesia tidak kekurangan tokoh yang mundur dari jabatan karena sifat ksatria dan merasa bertanggung jawab atas persoalan bangsa. Ada Mohammad Hatta, Kapolri Soetjipto, hingga akhir masa Orde Baru saat para menteri dan berhentinya Presiden Soeharto.

Mundurnya penguasa Nusantara bukanlah hal baru. Di masa kerajaan, setidaknya ada empat raja Nusantara yang turun takhta sebelum waktunya. Raja Airlangga, Rakai Pikatan dan Rakai Panangkaran mundur dengan alasan usia tua.

Ratu Tribuwana Tunggadewi dari Majapahit mundur saat ibunya meninggal. Hal itu karena ia sejak awal naik takhta untuk mewakili ibunya, Gayatri. Meskipun, kala itu melakukan ekspansi bersama Gajah Mada ke negara tetangga, seperti Tumasik (Singapura) dan Malaya (Malaysia). Tunggadewi menyerahkan kekuasaan kepada Hayam Wuruk yang kemudian menciptakan sejarah bersama Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya.

Herbert Feith menjabarkan, di era awal kemerdekaan, pemilu sangat penting karena menjadi tonggak awal sistem multipartai di Indonesia dan menjadi tolak ukur kekuatan setiap partai yang berjumlah 29 partai. Meskipun tidak ada mosi tidak percaya dan melaksanakan tugasnya dengan baik, Kabinet Burhanudin Harahap kala itu mundur seusai pemilu yang aman dan demokratis. Parlemen kemudian dibuat gempar saat 1 Desember di tahun yang sama, Mohammad Hatta memutuskan untuk mundur.

Menurut Deliar Noor, di masa Hatta itu, terlihat menggejalanya korupsi dalam penyelenggaraan negara, terbatas peran wakil presiden dalam konstitusi (UUDS 1950), dan sering tidak dilibatkannya wakil presiden dalam kebijakan dan berunding di parlemen. Keterbatasan itu menjadi alasan di balik mundurnya Bung Hatta.

Pada awal terjadi reformasi, 14 menteri kabinet Pembangunan VII menyatakan mundur satu hari sebelum terjadinya momentum reformasi tanggal 21 Mei 1998 ditandai berhentinya Presiden Soeharto. Ginandjar Kartasasmita kala itu merupakan Menteri Koordiator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) menyadari bahwa Indonesia akan kolaps jika kondisi ekonomi tetap dibiarkan. Alasan sama dan pilihan mundur juga kemudian diikuti oleh 14 menteri yang bahkan baru dilantik empat hari sebelumnya.

Tidak berhenti sampai di situ, saat perumusan konstitusi baru, perdebatan perubahan Pasal 33 membuat mundurnya Mubyarto yang pada masa itu, menurut catatan Jimly Asshiddiqie, berdebat keras dengan Syahrir terutama terkait dengan muatan–muatan pasal ini. Murbyanto menyatakan, tahu diri bahwa dalam forum demokrasi di MPR yang berlaku suara mayoritas dan mundur sebagai Tim Ahli BP-MPR untuk catatan sejarah.

Jabatan bukan tujuan

Tidak ada jabatan yang perlu dipertahankan mati–matian. Begitulah menurut Abdurahman Wahid atau Gus Dur pascadimakzulkan oleh MPR 23 Juli 2001. Padahal, ’pasukan berani mati’ sudah datang dari berbagai daerah ke Jakarta dan sangat mungkin terjadi perpecahan dan kekacauan. Greg Barton dalam buku biografi Gus Dur menjelaskan, Gus Dur beradu pendapat dengan ribuan demonstran. Gus Dur memilih mendinginkan suasana dan meminta massanya pulang.

Saat pertanggungjawabannya di Sidang Umum MPR 1999 tidak diterima, BJ Habibie memutuskan tidak mencalonkan diri sebagai calon presiden. Meskipun secara konstitusional memungkinkan untuk maju kembali, tetapi ia dengan mudah melakukan ”perpisahan” dengan kekuasaan. Sikap legowo, ikhlas dan tanpa dendam.

Sikap tindak seperti inilah yang seharusnya dapat dicontoh oleh para pejabat hari ini. Dewasa ini, besarnya biaya pemilu, besarnya honor, naiknya status sosial dan kemudahan berbisnis ketika berkuasa menjadikan jabatan dipandang sebagai tujuan. Tidak peduli terbatasnya ruang untuk pengabdian dan perubahan yang dilakukan, selama jabatan berada di tangannya, seakan sudah cukup untuk alasan bertahan.

Matinya 10 warga negara termasuk pengemudi ojol Affan Kurniawan, tidak kemudian menghilangkan jabatan petinggi institusi yang membawahi para penabraknya. Sejauh ini, baru ada beberapa wakil rakyat yang dinonaktifkan terkait perilaku dan tutur katanya yang dinilai turut memicu unjuk rasa akhir Agustus lalu. Di awal September ini, ada satu wakil rakyat yang mengundurkan diri terkait dengan kasus “keseleo lidah” yang berbeda lagi. Namun, secara umum, sejauh ini sikap tersebut belum diikuti wakil rakyat atau pejabat publik lain.

Mundurnya pemimpin negeri masih menjadi dongeng negara maju seperti Jepang dan Eropa saja. Walakin, bangsa inilah yang dengan sendirinya melupakan keteladanan para pendahulunya untuk mengambil sikap ksatria mundur dari jabatan karena merasa bertanggung jawab atas persoalan bangsanya.

Rico Novianto, Peneliti Pusat Studi HTN Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sumber:https://www.kompas.id/artikel/keteladanan-dan-hilangnya-budaya-mundur-dari-jabatan?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_android_traffic

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *