Reformasi Pemilu untuk Benahi DPR

Publik kembali dibuat gusar oleh perilaku sejumlah anggota DPR yang jauh dari standar etika wakil rakyat dan lembaga perwakilan. Perdebatan yang dangkal, komentar kontroversial, dan sikap tidak sensitif terhadap aspirasi rakyat telah menjadikan panggung parlemen seolah ruang hiburan yang miskin tanggung jawab. Fenomena ini bukan sekadar soal perilaku personal, melainkan cerminan problem struktural dari sistem politik dan pemilu kita.

Anggota legislatif adalah produk dari desain pemilu dan regulasi yang mengaturnya. Sayangnya, Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selama ini didesain lebih pragmatis dan oportunistik dibanding berorientasi pada prinsip akuntabilitas, keadilan, dan integritas. Alih-alih menegakkan pengawasan, memperkuat penegakan hukum, serta menjamin akuntabilitas dana kampanye, UU Pemilu justru dirancang dengan celah intervensi partisan yang sangat lebar. Akibatnya, demokrasi elektoral menjadi sangat rapuh di hadapan kepentingan oligarki politik dan status quo yang makin menghegemoni

Titik Rawan

Salah satu titik rawan terletak pada penyelenggara pemilu yang belum terbebas dari tarik-menarik kepentingan politik. Proses seleksi yang kental nuansa politis membuat independensi mereka begitu rentan dikompromikan. Saat penyelenggara berfungsi lebih sebagai perpanjangan tangan kekuatan partai dibanding penjaga integritas, maka seluruh proses pemilu ikut kehilangan legitimasi dan gagal mencapai hasil yang dikehendaki.

Penegakan hukum pemilu pun tidak efektif dan jauh dari rasa keadilan. Banyak pelanggaran administratif maupun pidana yang berakhir tanpa konsekuensi berarti. Instrumen hukum yang seharusnya menjaga keadilan pemilu hanya menjadi prosedur formal, gagal menghadirkan efek korektif maupun pencegahan. Hal itu pada gilirannya memperkuat persepsi publik bahwa aturan pemilu dapat dilanggar tanpa ada risiko serius.

Di sisi lain, partai politik sebagai gerbang utama rekrutmen elite cenderung menutup akses terhadap kaderisasi yang sehat. Kandidat legislatif lebih sering dipilih berdasarkan besarnya modal finansial atau popularitas instan. Uang seakan menjadi penentu segalanya. Bukan karena kapasitas dan komitmen sebagai politisi dan kader partai. Mekanisme internal partai untuk rekrutmen dan regenerasi praktis tidak berjalan transparan, apalagi partisipatif. Anggota partai makin dijauhkan dalam pengambilan keputusan. Elite yang dipersonalisasi oleh ketua umum, menjadi penentu dalam segala hal termasuk untuk memutuskan siapa yang akan atau tidak dicalonkan oleh partai

Konsekuensinya, parlemen dipenuhi figur yang kebanyakan tidak lahir dari proses kaderisasi ideologis, tetapi produk dari kalkulasi elektoral yang sempit dan pragmatis. Hal itu menjadi penjelasan masuk akal atas rendahnya kualitas representasi politik yang berujung pada menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif kita saat ini. Perilaku legislator yang berjarak dan asing bagi warganya membuat parlemen tidak lagi menjadi rumah rakyat.

Dalam kondisi tersebut, reformasi pemilu merupakan agenda yang tidak bisa ditunda. Harus diakui bahwa partai politik dan pemilu menjadi bagian hulu dari pancaroba demokrasi Indonesia hari ini.

Empat Langkah

Setidaknya terdapat empat langkah mendasar yang harus ditempuh untuk mengkoreksinya agar parlemen bisa berbenah dan kembali pada khitahnya.

Pertama, perbaikan desain sistem pemilu. Sistem proporsional terbuka saat ini harus dievaluasi secara mendasar karena mendorong kompetisi brutal antarkandidat yang berujung pada praktik banal politik uang. Sistem pemilu harus diarahkan pada model yang mampu memperkuat representasi substantif, meminimalisasi biaya politik, dan membuka peluang lebih besar bagi kelompok yang selama ini termarjinalisasi. Dalam konteks ini, sistem pemilu campuran (mixed system) bisa dipertimbangkan sebagai alternatif.

Dengan menggabungkan unsur proporsional dan distrik pluralitas, sistem campuran mampu menjaga keseimbangan antara representasi partai dan kedekatan wakil dengan pemilih. Sebagian kursi tetap dialokasikan berdasarkan daftar partai, tetapi sebagian lainnya diperebutkan melalui persaingan di daerah pemilihan yang lebih kecil, sehingga akuntabilitas individu terhadap konstituen lebih terjamin. Kelebihan dari sistem campuran terletak pada kemampuannya mereduksi dominasi politik uang dan membuka peluang munculnya wakil rakyat dengan rekam jejak nyata di masyarakat. Model ini juga memberi ruang koreksi atas kelemahan sistem proporsional terbuka maupun tertutup, sehingga dapat menjadi jalan tengah dalam membenahi kualitas representasi politik di Indonesia.

Kedua, penegakan akuntabilitas pendanaan politik. Transparansi dan akuntabilitas keuangan kampanye merupakan prasyarat utama bagi demokrasi yang sehat. Reformasi harus memastikan adanya regulasi yang lebih ketat, instrumen audit yang efektif, pemberlakuan pembatasan belanja kampanye yang masuk akal, serta pemanfaatan teknologi informasi untuk pelaporan dan pengawasan publik. Tanpa itu, politik akan tetap dikuasai oleh pemilik modal besar dengan iming-iming tukar guling kekuasaan bagi siapapun yang terpilih melalui pemilu.

Keterlibatan PPATK dalam pengawasan dana kampanye menjadi sangat mendesak untuk diimplementasikan. Termasuk pula segera mengesahkan RUU Pemberantasan Transaksi Tunai menjadi undang-undang. Tujuannya agar aliran uang yang selama ini menjadi sumber jual beli suara lebih bisa dicegah dan dikendalikan.

Ketiga, demokratisasi internal partai politik. Partai perlu dipaksa oleh regulasi untuk membuka mekanisme kaderisasi dan rekrutmen secara lebih meritokratis, partisipatif, dan akuntabel. Regulasi juga harus memberi insentif bagi partai yang berhasil mendorong keterwakilan kelompok perempuan, pemuda, dan kelompok rentan lainnya.

Keempat, pembaruan penyelenggara pemilu. Seleksi penyelenggara harus dipisahkan dari intervensi partisan. Dibutuhkan mekanisme independen yang melibatkan pakar, masyarakat sipil, dan lembaga non-partisan untuk memastikan bahwa hanya figur dengan integritas dan kompetensi yang terpilih. Tanpa penyelenggara yang kredibel, seluruh agenda reformasi pemilu akan kehilangan pijakan. Oleh karena itu, percepatan penggantian penyelenggara pemilu secara serentak untuk Pemilu 2029 menjadi relevan untuk direalisasikan.

Kesadaran Kolektif

Berbagai skandal yang melibatkan penyelenggara pemilu 2024, harus jadi kesadaran kolektif bagi kita untuk tidak lagi menolerir rekrutmen KPU dan Bawaslu yang bermasalah. Keterlibatan penyelenggara pemilu 2024 dalam manipulasi verifikasi partai peserta pemilu, pelanggaran kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan, penyalahgunaan anggaran untuk gaya hidup hedon, penafsiran menyimpang atas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan terpidana dan masa jabatan kepala daerah, toleransi terhadap praktik kekerasan seksual, serta tata kelola organisasi yang militeristik dan antidemokrasi, harus disudahi dan tidak boleh terulang.

Reformasi pemilu tidak otomatis menyelesaikan seluruh persoalan politik Indonesia. Namun, hal itu merupakan fondasi yang tidak bisa diabaikan. Dari pemilu yang lebih adil dan transparan akan lahir wakil rakyat yang lebih representatif dan akuntabel. Pada gilirannya, kepercayaan publik terhadap institusi demokrasi dapat kita pulihkan.

Publik tidak bisa terus menoleransi DPR sebagai panggung yang lebih sibuk menciptakan sensasi ketimbang merumuskan kebijakan publik. Demokrasi yang sehat menuntut aturan main yang jelas, institusi yang kuat, dan aktor politik yang bertanggung jawab. Reformasi pemilu adalah syarat minimum bagi hadirnya demokrasi yang berfungsi (delivered democracy).

*) Titi Anggraini,  Pengajar Bidang Studi Hukum Tata Negara FHUI

https://www.hukumonline.com/berita/a/reformasi-pemilu-untuk-benahi-dpr-lt68ba7b7555405/?page=all

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *