REVITALISASI PANCASILA

 

Merevitalisasi Pancasila Sumber gambar: http://cdn2.tstatic.net/kaltim/foto/bank/images/ilustrasi-pancasila_20161001_154947.jpg

 

 

Dalam rangka Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2018, sangat relevan untuk merenungkan kembali berbagai aspek yang terkait dengan tantangan revitalisasi Panasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam era globalisasi pada saat ini.

Sebagaimana diketahui, tantangan kehidupan kebangsaan kita ke depan sangatlah kompleks. Menurut Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Kebangsaan, ada dua jenis tantangan yang kita hadapi, yaitu internal dan eksternal. Yang merupakan tantangan internal antara lain meliputi: (1) masih lemahnya penghayatan dan pengamalan agama serta munculnya pemahaman terhadap agama yang keliru dan sempit; (2) pengabaian terhadap kepentingan daerah serta timbulnya fanatisme kedaerahan; (3) kurang berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan; (4) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa; dan (5) tidak berjalannya penegakan hukum secara optimal.

Adapun yang merupakan tantangan eksternal meliputi: (1) pengaruh globalisasi kehidupan yang semakin meluas dan persaingan antarbangsa yang semakin tajam; dan (2) makin kuatnya intensitas kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional.

Meski demikian, pada era Reformasi sekitar 20 tahun yang lalu, terjadi semacam gerakan de-Pancasila-isasi. Pada saat itu MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekapresetia Pancakarsa). Kebijakan tersebut tertuang dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekapresetia Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara.

Sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut, salah satu alasan pencabutan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 adalah karena materi muatan dan pelaksanaannya tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan bernegara. Di samping itu, Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut juga menegaskan bahwa Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Akhir Ideologi

Berdasarkan Catatan Risalah/Penjelasan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan tersebut, makna frasa dasar negara di sini adalah ideologi nasional sebagai cita-cita dan tujuan negara.

Pemberlakuan Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 tersebut diikuti dengan pembubaran Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 1999 tentang Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tentang Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 31 Maret 1999. Dengan terpengaruh oleh pemikiran salah satu intelektual publik Amerika Serikat (AS) yang termahsyur, Daniel Bell, pada saat Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 ditetapkan, dan kemudian diikuti dengan pembubaran BP7 tersebut, penulis merasa bahwa momen itu sebagai semacam periode “akhir ideologi” dari Pancasila.

Sebagaimana diketahui, sekitar 58 tahun lalu, Daniel Bell menerbitkan bukunya yang terkenal, The End of Ideology: On the Exhaustion of Political Ideas in The Fifties. Dalam bukunya itu, Bell antara lain berpendapat bahwa ideologi-ideologi besar yang telah mendominasi kehidupan intelektual sejak era Victoria -Marxisme. Liberalisme, dan konservatisme- telah kehilangan kekuatannya untuk menjaga tingkat kecerdasan masyarakat dan mengendalikan emosinya.

Sebagian kecil kalangan liberal tak percaya lagi terhadap kegiatan-kegiatan rekayasa sosial yang bersifat besar; dan sebagian kecil kalangan konservatif percaya bahwa konsep negara kesejahteraan merupakan semacam pemberhentian kedua hingga terakhir dari “jalan menuju perbudakan”. Masa depan terletak pada para teknokrat daripada pada ideologi-ideologi, dengan kelompok pragamtasi yang lebih cenderung kepada gagasan-gagasan sangat kecil hingga cetak biru yang tebal.

Dalam tinjauannya terhadap buku tersebut, majalah The Economist melihat bahwa Bell mungkin tidak teruntungkan dengan waktunya. Jika tahun 1950-an dipandang sebagai semacam kuburan bagi ideologi-ideologi, maka tahun 1960-an terbukti sebagai suatu masa pembibitan. Presiden John F Kennedy dan khususnya Lyndon B Johnson membangkitkan kembali “big-government liberalism” (liberalisme pemerintahan yang besar). Jika gerakan New Left memasukkan kritik-kritik yang tidak mendukung dari Karl Marx terhadap kapitalisme (walaupun dengan penekanan yang lebih pada aspek konter-kulturalisme yang eksentris daripada revolusi kaum proletar); sementara gerakan New Right meninggalkan ruang bagi kapitalisme koboi dan suatu gerakan kembali kepada nilai-nilai moral.

Tahun-tahun yyyang kita lalui setelah terbitnya buku Bell (1960) telah membentuk suatu interplay dari tiga ideologi tersebut; kelompok pemerintahan-besar yang bersifat liberal (big-government liberals) telah memperkenalkan suatu versi AS konsepsi negara kesejahteraan dan langkah-langkah afirmatif. Para aktivis New Left kemudian mengambil alih universitas-universitas –pertama-tama melalui cara protes di mana para demonstran melakukan pendudukan dan kemudian melalui penguasaan suatu kantor. Namun, hal ini tetap memunculkan pertanyaan: apakah rakyat AS pada akhirnya telah mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup?

Pada tahun yang bersamaan dengan terbitnya buku Bell itu, Presiden Soekarno menyampaiak pidatonya yang berjudul “To Build the World Anew” di depan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-15, pada 30 September 1960. Dalam pidatonya, Bung Karno antara lain menyatakan bahwa bilamana dunia ingin damai, hanya Pancasila yang dapat dijadikan konsepsi; bukan konsepsi yang lain seperti kolonialisme dan imperialisme serta turunannya yang sudah usang; serta terus membuat kerusakana di muka bumi selama berabad-abad.

Oleh karena itu, Pancasila menjadi suatu sumber kebenaran universal yang dapat diterima setiap bangsa. Permyataan Bung Karno yang menegaskan peranan Pancasila sebagai ideologi di tengah-tengah hancurnya ideologi-ideologi besar sebagaimana disinyalir oleh Bell dalam bukunya, dan munculnya pertanyaan apakah rakyat AS pada akhirnya telah mendapatkan ideologi-ideologi yang cukup, merupakan suatu upaya yang sangat strategis untuk menonjolkan kedudukan Pancasila sebagai suatu ideologi besar yang menjadi ideologi alternatif di level dunia.

Upaya Revitalisasi

Kini, 58 tahun setelah terbitnya buku Bell dan pidato Presiden Soekarno tersebut, bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk merevitalisasi dan bisa menjadikan Pancasila sebagai ideologi besar dunia sebagaimana pernah dikemukakan Presiden Soekarno?

Pada level pemerintah, dengan pertimbangan bahwa Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang selama ini melakukan pembinaan ideologi Pancasila perlu disempurnakan dan direvitalisasi tugas dan fungsinya, pada 28 Februari 2018 Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP ini merupakan lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Untuk merevitalisasi Pancasila. menurut penulis, salah satu fokus utama kegiatan yang harus mendapatkan penekanan oleh BPIP adalah bagaimana untuk selalu menggaungkan Pancasila dan menanamkannya ke dalam hati sanubari setiap masyarakat Indonesia.

Berbagai gerakan radikal yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan bahwa ada semacam “kekosongan ideologi” yang dialami para pelakunya. Penggaungan tersebut juga bisa dilakukan melalui jalur peningkatan pendidikan karakter, antara lain melalui Gerakan Pramuka yang dulu pernah bisa menjadi semacam penangkal radikalisme dan menjadi sarana penyaluran nilai-nilai kebangsaan yang cukup efektif.

Melalui aktivitas-aktivitas BPIP ini diharapkan berbagai tantangan, baik internal maupun eksternal, yang pernah disebut oleh Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa sebagaimana disebutkan di muka, bisa diselesaikan pada masa-masa yang akan datang. Jika hal ini tak dilakukan, kedudukan Pancasila bisa semakin tergeser dan tergusur, dan nilai-nilai dasar yang telah dimiliki dan digali dari bumi Indonesia itu pun akan lenyap secara perlahan-lahan; digantikan ideologi-ideologi lain yang mungkin akan lebih memberikan pilihan yang lebih menarik di masa depan.

Semoga di masa depan tidak terjadi semacam “akhir ideologi” terhadap Pancasila sebagaimana pernah ditulis Daniel Bell dalam bukunya.

Opini yang dimuat di Harian Kompas (28/5/2018)

Satya Arinanto

Guru Besar Hukum Tata Negara

Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *