Hak Konstitusional Pengungsi

Ada tiga terminologi yang digunakan dalam UUD 1945 terkait status yang menyangkut hak dan kewajiban seseorang yang tinggal di Indonesia. Pertama adalah “warga negara” yakni mereka secara hukum memiliki status kewarganegaraan sebagai eksistensi kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Kedua adalah “penduduk”, yang merupakan warga negara lain yang menetap dalam sebuah wilayah tertentu yang diberikan sebagian hak dan kewajiban sesuai hukum positif yang berlaku. Dan ketiga adalah “setiap orang” yang merujuk pada hak-hak yang diberikan oleh konstitutusi bagi siapapun yang biasanya terkait dengan jaminan Hak Asasi Manusia.

Lalu, bagaimana dengan status pengungsi di Indonesia? Hak apa saja yang pengungsi dapatkan sesuai dengan UUD 1945?

Bukan Warga Negara

Pengungsi, menurut Peraturan Presiden 125/2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, adalah orang asing yang berada di wilayah Indonesia yang disebabkan karena ketakutan beralasan akan persekusi dengan alasan ras, suku, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu, dan pendapat politik yang berbeda serta tidak menginginkan perlindungan dari negara asalnya dan/atau telah mendapatkan status pencari suaka atau status pengungsi dari PBB.

Melalui definisi diatas, ada pembedaan yang tegas bahwa pada pokoknya pengungsi adalah bukan warga negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan 26 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Oleh karenanya pengungsi bukan termasuk dalam kategori warga negara yang memiliki hak kedaulatan tertinggi dalam system ketatanegaraan di Indonesia.

Mengutip pendapat dari putusan International Court of Justice (Nottebohm, 1955) yang secara baik menyatakan bahwa menjadi warga negara bukan sekedar disebabkan oleh status hukum saja, melainkan juga hubungan, koneksi, sentimen dan kepentingan untuk berhubungan satu sama lain dan bersama-sama sebagai sebuah bangsa dan negara. Sehingga kontekstualisasi status pengungsi di Indonesia mungkin tidak perlu terburu-buru untuk diproyeksikan sebagai warga negara. Hal ini karena menjadi WNI bukan cuma sekedar mencari pengakuan hukum, melainkan pula mencari kesetiaan sebagai bagian sebuah bangsa.

Tidak sedikit dari pengungsi yang ada di Indonesia sebenarnya hanya menjadikan Indonesia sebagai negara transit. Artinya para pengungsi cenderung lebih memilih menjadi warga negara lain seperti Australia, Malaysia dan New Zeeland apabila terbuka kemudahan untuk pindah ke negara tujuan tersebut. Meskipun ada juga pengungsi yang secara sadar ingin menjadi WNI disebabkan kesamaan warisan budaya misalnya sama-sama Melayu dan Islam.

Menjadi warga negara akan memberikan dampak konstitutional mendasar yang berpengaruh besar dalam hidup berbangsa. Seseorang yang telah menjadi warga negara akan memiliki tanggung jawab dan hak sebagaimana telah disebutkan dalam UUD 1945. Hak-hak tersebut diantaranya adalah menentukan masa depan negara dalam partisipasi melalui pemilihan umum, kewajiban bela negara termasuk pertahanan negara, berhak atas pekerjaan yang layak, tergabung dalam pemerintahan dan lainnya. Oleh karenanya pemikiran untuk tidak terburu-buru menjadikan pengungsi sebagai warga negara juga patut mendapatkan pertimbangan matang.

Apakah pengungsi adalah penduduk?

Kata penduduk dalam UUD 1945 disebutkan empat kali yang memberikan pernyataan bahwa penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Klausula ini dilanjutkan lagi dengan ketentuan Pasal 63 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan yang menyatakan bahwa penduduk adalah WNI dan WNA yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.

Klasifikasi mengenai siapa yang dapat disebut dengan penduduk dan bukan penduduk bagi WNA pada pokoknya terletak pada adanya izin tinggal tetap. Sedangkan dalam konteks pengungsi, mereka tidak memiliki izin tinggal tetap tersebut. Sehingga pada pokoknya pengungsi tidak dapat dikategorikan sebagai penduduk.

Di berbagai negara, ketentuan mengenai klasifikasi penduduk (resident) ditentukan sesuai kebijakan politik hukum masing-masing negara. Misalnya, bagi negara-negara tertentu resident atau permanen resident diberikan akses yang besar disebabkan adanya kebutuhan atas profesi tertentu. Manakala seorang yang memiliki kualifikasi professional tertentu akan lebih mudah mendapatkan izin menjadi penduduk atau resident dinegara-negara yang membutuhkan keahlian tersebut.

Kebijakan mengenai penduduk atau resident tidak dapat disamakan satu sama lain. Hal ini sangat tergantung dengan latar belakang sejarah, kebutuhan dan kebijakan politik hukum yang berbeda pula. Hal ini pula yang pada akhirnya akan memberikan perbedaan hak dan kewajiban yang diberikan bagi penduduk (resident) dinegara-negara tersebut. Bahkan ada sejumlah negara yang memperbolehkan resident-nya untuk ikut serta dalam pemilihan umum.

Hak Asasi Manusia

Hingga pada akhirnya, hak konstitutionalitas seorang pengungsi hanya dapat didasarkan pada pasal-pasal yang berisikan kata “setiap orang.” Frasa ini dapat ditemui sebanyak dua puluh kali dalam UUD 1945. Kata “setiap orang” ini dapat ditemui dalam pasal-pasal yang mengandung ketentuan mengena Hak Asasi Manusia. Penulis menilai, pengungsi berhak mendapatkan hak konstitutionalnya sebagai manusia dalam relasinya sebagai “setiap orang”, sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Hak pengungsi, sebagai bagian dari “setiap orang” dalam konteks pemenuhan HAM bagi siapapun tidak dapat dipandang sebagai kerugian. Boleh jadi, adanya ketentuan yang menyatakan “setiap orang” dalam UUD 1945 merupakan sebuah keuntungan tersendiri bagi orang-orang dengan status pengungsi. Hal ini dikarenakan pengungsi akan tetap diperlakukan baik dan manusiawi di Indonesia dalam kondisi apapun sebagai tanggung jawab kemanusiaan sebagaimana amanat dua puluh klausula dalam UUD 1945.

Kata “setiap orang” dalam  UUD 1945 setidaknya disandingkan dengan hak untuk tidak didiskriminasi, dilindungi martabatnya, dilindungi hak miliknya, hak untuk tidak disiksa, hak untuk bebas dari penganiayaan dan masih banyak lagi. Oleh karenanya, sebagaimanapun lelah-berat pengungsi hadir untuk ditangani, seluruh pemangku kepentingan di Indonesia masih harus tetap memberikan hak-hak pengungsi sebagai; Manusia.

Akhir kata, pengungsi memang tidak harus diperlakukan sebagai warga negara. Ia juga bukan penduduk menurut hukum Indonesia. Namun ketiadaan status itu tidak menjadi alasan untuk tetap memandang pengungsi sebagai manusia dengan hak-hak asasi yang dimilikinya. Setidaknya, UUD 1945 telah memberikan amanat constitutional itu sebagai sebuah bekal, untuk berbuat adil pada pengungsi atas dasar kemanusiaan.

Qurrata Ayuni

Manager Program Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *